Work For Made Hire: Hak Cipta Atas Sebuah Karya Yang Dihasilkan oleh Artificial Intellegence

M. Ihsan Anugrah Perdana | Direktur Kajian FKPH 2025


Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap suatu penemuan yang diberikan kepada sebagai penemu baik penemuan tersebut untuk
dirinya sendiri atau kelompok, baik untuk kepentingan kepunyaan atau untuk dikomersilkan. HKI ini bertujuan untuk melindungi segala bentuk kreasi dan inovasi. Sangat penting untuk menjaga dan melindungi setiap inventor dengan adanya HKI, terutama di era modern ini.  Dengan munculnya teknologi digital dan laju globalisasi yang tidak dapat dihindari, kekayaan intelektual harus diperhatikan dan dilindungi lintas batas. Namun, di era saat ini, pendistribusian kekayaan intelektual tanpa otorisasi yang tepat menjadi mudah.

Dewasa ini, teknologi yang dikembangkan oleh manusia terus menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam berbagai bidang. Salah satu teknologi yang paling sering digunakan adalah kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menjadi salah satu entitas paling revolusioner yang mulai merambah ranah Hak Kekayaan Intelektual (HKI). AI tidak hanya menjadi alat bantu dalam menciptakan karya, tetapi juga mampu menghasilkan konten secara mandiri, mulai dari musik, tulisan, desain grafis, hingga karya ilmiah. Fenomena ini menimbulkan persoalan baru dalam dunia HKI, yakni siapa yang berhak atas hasil ciptaan AI: apakah pencipta perangkat lunak, pengguna akhir. Tantangan ini menjadi semakin kompleks ketika karya yang dihasilkan AI memiliki nilai ekonomi tinggi namun tidak dapat dimasukkan ke dalam skema perlindungan hak cipta tradisional yang mensyaratkan adanya pencipta manusia. Oleh karena itu, munculnya AI dalam ekosistem HKI menuntut pembaruan konsep kepemilikan, keaslian, dan otorisasi atas karya yang harus direspons melalui pendekatan hukum yang adaptif dan multinasional.

AI telah membawa dunia ke era digital dan muncul sebagai alat yang kuat untuk mengubah cara kekayaan intelektual (HKI) dibuat, dipelihara, dan dieksploitasi. Tidak diragukan lagi, transformasi dan kemajuan dalam teknologi ini menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi para inventor, baik dalam bidang bisnis maupun bidang lain yang terkait dengan kekayaan intelektual. Di sisi lain, AI tentu memungkinkan para inventor untuk menciptakan jenis properti intelektual baru, meningkatkan efisiensi, dan memungkinkan eksploitasi kekayaan intelektual lainnya dengan lebih mudah. Meskipun demikian, munculnya AI mungkin juga menyebabkan masalah hukum dan etika terkait kepemilikan kekayaan intelektual yang sangat kompleks, seperti kepemilikan, pelanggaran hak cipta, dan perlindungan data.

Secara umum, kerangka hukum hak cipta yang berlaku di berbagai yurisdiksi mensyaratkan bahwa pencipta suatu karya adalah subjek hukum yang memiliki kepribadian hukum, yaitu manusia yang secara sah dapat bertindak dalam kapasitas hukum tertentu, termasuk dalam hal klaim atas kepemilikan intelektual. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip fundamental bahwa penciptaan karya merupakan hasil dari ekspresi intelektual yang bersumber dari kesadaran dan niat. Oleh karena itu, meskipun AI mampu secara teknis menghasilkan karya dengan tingkat kompleksitas dan estetika yang tinggi, AI tetap tidak dapat diakui sebagai subjek hukum yang layak memperoleh hak cipta karena tidak memiliki kesadaran diri, intensi kreatif, maupun pertanggungjawaban moral atas karyanya. Sejalan dengan pandangan ini, Malikova (2023) menjelaskan bahwa dalam konteks hukum Uni Eropa, prinsip tradisional masih dipertahankan dengan ketat, yakni bahwa hanya manusia yang dapat dianggap sebagai pencipta sah dan memiliki standing hukum untuk menikmati perlindungan hak cipta. Pandangan ini diperkuat oleh Zurth (2020), yang secara tegas menolak gagasan pengakuan hak kepemilikan oleh AI atas karya cipta yang dihasilkannya, dengan argumentasi bahwa absennya elemen subjektivitas, refleksi kreatif, dan akuntabilitas menjadikan AI tidak memenuhi standar minimal yang diperlukan untuk pengakuan sebagai pemilik hak kekayaan intelektual.

Dalam menjawab kompleksitas hukum yang ditimbulkan oleh karya yang dihasilkan AI, para akademisi dan praktisi hukum menawarkan beragam pendekatan yang berusaha menyeimbangkan kebutuhan akan perlindungan hukum dengan realitas teknologi kontemporer. Salah satu pendekatan terkait kepemilikan hak cipta adalah work for made hire. Dalam sistem hukum Indonesia, konsep yang setara dengan work for made hire tidak disebut secara eksplisit dengan istilah yang sama, namun prinsip serupa diakomodasi secara implisit dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC). Doktrin ini menyatakan bahwa dalam situasi tertentu, hak ekonomi atas karya cipta yang dihasilkan dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan akan menjadi milik pihak pemberi kerja atau pemesan, bukan pencipta individual. Hal ini tertuang dalam Pasal 8 UU HC yang berbunyi:

“Hak Cipta atas Ciptaan yang dibuat dalam hubungan kerja atau dalam rangka pekerjaan yang diperintah oleh pihak lain, dimiliki oleh pihak yang memerintahkan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain.”

Dengan kata lain, apabila seorang pekerja atau karyawan menciptakan suatu karya dalam lingkup pekerjaannya, hak cipta, khususnya hak ekonomi, berada pada pemberi kerja, kecuali jika dalam kontrak kerja diatur secara berbeda. Prinsip ini sejalan dengan doktrin work for hire dalam hukum hak cipta di negara-negara seperti Amerika Serikat. Dalam kasus di mana AI digunakan oleh seorang karyawan sebagai alat bantu, hasil akhirnya tetap dikategorikan sebagai karya manusia dan tunduk pada Pasal 8. Namun, jika AI menciptakan karya secara mandiri tanpa campur tangan manusia secara langsung, timbul pertanyaan apakah prinsip “pemberi kerja sebagai pemilik” tetap dapat diterapkan. Sebagian pakar hukum berpendapat bahwa pendekatan analogis dapat digunakan, yaitu dengan menganggap pemilik atau pengembang sistem AI sebagai pihak yang memerintahkan penciptaan karya, sehingga berhak atas hasilnya. Namun, hingga saat ini belum ada regulasi spesifik di Indonesia yang secara eksplisit mengatur status hukum karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI, sehingga penerapan prinsip ini masih menimbulkan ketidakpastian hukum.

Konsep work for made hire dalam sistem hukum hak cipta Amerika Serikat, sebagaimana diatur dalam U.S. Copyright Act of 1976, menyatakan bahwa hak cipta atas suatu karya yang diciptakan oleh seorang karyawan dalam lingkup tugasnya secara otomatis dimiliki oleh pemberi kerja, bukan oleh karyawan itu sendiri. Konsep ini didasarkan pada hubungan hukum antara pencipta dan entitas yang menugaskan, serta adanya ekspektasi bahwa karya tersebut diciptakan sebagai bagian dari kontribusi profesional dalam suatu institusi atau organisasi. Dalam konteks tradisional, kerangka ini telah terbukti efektif dalam mengatur hak cipta dalam hubungan kerja konvensional antara manusia. Namun, munculnya AI sebagai entitas yang mampu menghasilkan karya kreatif menghadirkan tantangan baru bagi penerapan konsep ini. Dalam skenario di mana AI digunakan untuk menciptakan karya secara otonom atau semi-otonom, tidak terdapat hubungan kerja dalam arti konvensional antara AI sebagai “karyawan” dan manusia sebagai “majikan”. Oleh karena itu, beberapa akademisi mengusulkan reinterpretasi konseptual terhadap “work for made hire”, dengan menjadikan pemilik sistem AI atau pihak yang mendanai dan mengoperasikan teknologi tersebut sebagai “pemberi kerja” metaforis. Dalam pendekatan ini, kontrol atas proses penciptaan, pembiayaan operasional AI, serta tanggung jawab atas penggunaan dan distribusi karya menjadi dasar legitimasi bagi pemberian hak cipta.

Feliu (2020) mendukung pendekatan ini dengan menyatakan bahwa untuk menjaga prinsip insentif ekonomi dalam sistem kekayaan intelektual, perlu diakui bahwa pihak yang menginisiasi dan mengendalikan proses kreatif melalui AI patut diberi hak kepemilikan. Dengan menjadikan hasil karya AI sebagai “work for hire”, hak cipta dapat dialihkan kepada individu atau entitas yang memainkan peran utama dalam terwujudnya karya tersebut, meskipun secara teknis karya itu dihasilkan oleh sistem non-manusia. Akan tetapi, pendekatan ini tidak dapat diterapkan tanpa tantangan. Secara yuridis, definisi legal mengenai “pencipta” dan “karyawan” dalam berbagai sistem hukum masih berbasis pada entitas manusia, sehingga adopsi model ini membutuhkan reformasi hukum secara komprehensif yang menyertakan redefinisi norma-norma tradisional dalam hak cipta. Di tingkat internasional, belum terdapat konsensus yang seragam mengenai perluasan konsep “work for made hire” ke dalam ranah AI. Sebagian yurisdiksi mungkin menerima pendekatan ini dengan penyesuaian tertentu, sementara yang lain justru menolak memberikan hak cipta atas karya non-manusia sepenuhnya. Oleh sebab itu, agar pendekatan ini dapat diterapkan secara efektif dan universal, dibutuhkan kerangka hukum global yang harmonis serta pengakuan lintas negara terhadap peran manusia sebagai pihak pengarah dan pengendali dalam ekosistem penciptaan AI. Tanpa reformasi tersebut, pendekatan ini akan tetap bersifat spekulatif dan rentan terhadap ketidakkonsistenan implementatif antar sistem hukum yang berlaku.

Secara normatif, doktrin “work for made hire” di Indonesia diakui dalam kerangka kerja hubungan kerja atau pemesanan karya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Hak Cipta. Dalam konteks karya yang diciptakan dengan bantuan AI, prinsip ini masih dapat diterapkan jika karya tersebut merupakan bagian dari pekerjaan yang diperintahkan dan ada unsur keterlibatan manusia. Namun, untuk karya yang dihasilkan oleh AI secara otonom, dibutuhkan pengembangan hukum yang lebih adaptif dan interpretasi yang lebih progresif untuk mengakomodasi fenomena baru ini dalam sistem HKI nasional. Karya yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan menimbulkan tantangan fundamental terhadap konsep hak cipta tradisional. Konsep “work for made hire” dapat dijadikan salah satu pendekatan alternatif, namun penerapannya pada konteks AI memerlukan revisi hukum secara eksplisit dan hati-hati. Diperlukan kerangka hukum baru yang mengakomodasi peran manusia sebagai pengendali atau pengguna AI, sambil tetap mempertahankan prinsip keadilan dan insentif inovasi. Ke depan, kolaborasi lintas negara sangat penting untuk menciptakan rezim hukum yang konsisten dan adil dalam menghadapi revolusi AI dalam ranah kekayaan intelektual.


Daftar Pustaka

Nainggolan, B. (2021). Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual. In: T. Rudiyanto, ed. Yogyakarta: Publika Global Media, Cetakan I. pp.2. 

Rizkia, N.D. and Ferdiansyah, H. (2022). Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar. In: E. Damayantti, ed. Bandung: Widina Bhakti Persada Bandung, Cetakan Pertama.

Malikova, R. (2023). Copyright protection of the AI-generated works: Who owns AI-generated works? Can AI be an author? The EU and the UK approach. Central European University. 

Feliu, V. (2020). Our Brains Beguil’d: Copyright Protection for AI Created Works. Intellectual Property & Technology Law Journal, 25, pp.89–104. 

Aziz, A. (2023). Artificial Intelligence Produced Original Work: A New Approach to Copyright Protection and Ownership. European Journal of Artificial Intelligence, 1(2). 

Maharjan, B. (2024). Can AI Generated Work Own Intellectual Property Rights? SSRN. Available at: https://papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm?abstractid=4746014 [Accessed 22 Apr. 2025].

Salami, E. (2021). AI-generated works and copyright law: Towards a union of strange bedfellows. Journal of Intellectual Property Law & Practice, 16(2), pp.124–130. 

Iaia, V. (2022). To be, or not to be… original under copyright law, that is (one of) the main questions concerning AI-produced works. GRUR International, 71(9), pp.793–802. 

Rizkia, N.D. and Ferdiansyah, H. (2022). Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar. In: E. Damayantti, ed. Bandung: Widina Bhakti Persada, Cetakan Pertama.

Nyaboke, Y. (2024). Intellectual Property Rights in the Era of Artificial Intelligence. Journal of Modern Law and Policy, 4(2), pp.58–72. 

Budi, V.H.S., Girodon-Hutagalung, M. and Irawati, J. (2023). Integrating IPR Integrity and Freedom of Expression: A Normative Analysis. Law Reform. 

Utari, P. and Pramana, P. (2024). Beyond Human Communication: The Artificial Intelligence Phenomenon in the Perspective of Communication Theory. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro. 

Dharmawan, N.K.S., Kasih, D.P.D. and Samsithawrati, P.A. (2023). Quo Vadis Traditional Cultural Expressions Protection: Threats from Personal Intellectual Property and Artificial Intelligence. Law Reform, Universitas Diponegoro. 

Postingan Lain