Frascatia Romaya Dewi
Staff Kajian FKPH 2022
“Hukum itu tidak tegak selalu. Sekali tegak, sekali runtuh. Karena, ia tergantung pada
tingkah laku manusia. Tugas kita adalah: Tegakkan Ketika runtuh, berdirikan ketika rubuh.” –
Prof. Erman Rajagukguk
Secara yuridis, dalam konstitusi telah termaktub dengan jelas pada pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.” Hal ini merupakan sebuah titik penting bahwa Indonesia dalam melakukan tugas dan kewajibannya patut berdasar pada kepentingan rakyat, kebutuhan rakyat, dan apa yang rakyat inginkan demi kesejahteraan bersama. Rakyat sebagai nahkoda utama di perahu Indonesia. Pada dasarnya, dalam sebuah negara yang merupakan organisasi kekuasaan baik kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif akan terjadi adanya peralihan kekuasaan demi menjaga stabilitas serta merupakan wujud regenerasi bangsa demi masa depan Indonesia. Yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimanakah peralihan kekuasaan dapat berjalan dengan memperhatikan suara milyaran rakyat yang ada di negara tersebut? Hal ini terjawab dengan adanya Pemilihan Umum (Pemilu) yang merupakan tonggak berdirinya demokrasi dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Pemilu ialah mekanisme yang hampir dari semua negara demokrasi telah gunakan dalam memasuki tahap peralihan kekuasaan. Karena Pemilu merupakan sebuah pilar demokrasi yang dianggap paling efektif dalam memecahkan masalah peralihan kekuasaan. Demokrasi sendiri merupakan suatu hal yang didasarkan pada supremasi rakyat sehingga memiliki ciri khas bahwa rakyat merupakan pemegang kendali penuh atas kemana kah negara akan berjalan dan bagaimanakah hukum nantinya akan berlaku, sesuai dengan teori hukum progresif yang dibawa oleh Prof. Satjipto Rajardjo bahwa “Hukum Untuk Manusia, Bukan Manusia Untuk Hukum”. Sehingga Pemilu merupakan sebuah poin penting dari terjaminnya nilai demokrasi pada suatu negara terutama negara yang bersanding didalamnya kata “Demokrasi”.
Terlaksananya Pemilu dalam suatu negara bukan berarti jalannya demokrasi di negara tersebut berjalan tanpa adanya suatu gangguan. Mengutip perkataan dari Prof. Erman Rajagukguk bahwa “Hukum itu tidak tegak selalu. Sekali tegak, sekali runtuh. Karena, ia tergantung pada tingkah laku manusia. Tugas kita adalah: Tegakkan Ketika runtuh, berdirikan ketika rubuh.” Banyaknya permasalahan yang terjadi baik dari tindak pidana pemilu, permasalahan administrasi pemilu, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu seperti contohnya ialah pada saat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan bahwasanya terdapat 19 masalah yang banyak terjadi dalam pemungutan dan penghitungan suara pemilu 2024, dan contoh lain ialah ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan melanggar kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). KPU dianggap menyalahi aturan administratif karena belum merevisi Peraturan KPU dan berkonsultasi dengan DPR RI dan pemerintah saat menerima pendaftaran calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka. Menunjukkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan adanya sebuah kebaharuan model yang mengisi akan kekosongan hukum yang saat ini terjadi karena adanya beberapa masalah yang timbul dalam melaksanakan amanat undang-undang dalam menjaga marwah demokrasi Indonesia yakni Pemilu. Seperti contohnya ialah Ketika proses yang tidak hanya berakhir pada perhitungan suara, namun justru harus diselesaikan di Lembaga peradilan. Padahal proses pemilu yang terjadi di Lembaga peradilan tersebut, tanpa disadari telah menjadi tolok ukur penting bagi pencapaian kepentingan politik.Sehingga penting point nya untuk kemudian menjadikan dan menegaskan bahwa keberadaan Lembaga peradilan menjadi bagian penting terhadap jalannya proses pemilu.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah menjadikan dan mengamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Lembaga yang memiliki peranan strategis dalam sebuah proses politik ini. Faktanya, kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pemilu (PHPU) menjadi kewenangan MK yang paling sering digunakan dibanding kewenangan yang lain.Tentu keadaan seperti ini menimbulkan tantangan bagi hakim konstitusi dan keterbatasan waktu yang ada. Terlebih, apabila MK dalam suatu perkara PHPU gagal memutuskan dengan adil dan imparsial, maka hal ini akan menimbulkan akibat politik yang cukup serius. Lebih lanjut, pengalihan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kepada MK yang sebelumnya berada di Mahkamah Agung (MA), membuat MK menjadi lebih dari sekadar menjalankan kewenangannya.Alhasil, MK mengeluarkan putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa MK bukan lagi sebagai Lembaga peradilan yang berwenang mengadili mengenai penyelesaian hasil Pilkada. Putusan tersebut kemudian direspons kembali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) yang memerintahkan untuk membentuk sebuah Badan Peradilan Khusus dalam menyelesaikan perkara perselisihan hasil Pilkada. Alih-alih menjadi sebuah solusi pada permasalahan tersebut, justru UU Pilkada tidak lantas untuk menghapuskan kewenangan MK dalam menangani perselisihan hasil Pilkada. Sehingga sejatinya pada hakekatnya UU Pilkada masih memberikan kewenangan tersebut kepada MK selama Badan Peradilan Khusus tersebut yang dapat mengambil alih kewenangan MK tersebut belum terbentuk.Hingga saat ini, Badan Peradilan Khusus tersebut yang nantinya akan mengambil alih kewenangan MK masih belum terbentuk, sehingga MK masih terkesan menjadi Lembaga yang juga harus menangani seluruh persoalan pada pemilihan umum.
Tuntutan untuk membentuk lembaga peradilan khusus Pemilu bukan hanya didorong oleh lahirnya UU Pilkada.Status a Quo memperlihatkan fakta yang terjadi, bahwasanya terdapat banyak lembaga yang terlibat di dalam penyelesaian sengketa Pemilu saat ini. Terhadap berbagai masalah dalam Pemilu, jika coba kita lihat faktanya, terdapat tiga lembaga negara yang berwenang mengadili keempat permasalahan tersebut, yakni MK, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Banyaknya lembaga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa Pemilu, mengakibatkan tidak efektifnya proses penyelesaian sengketa. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru yang timbul adalah bertambah panjangnya birokrasi penyelesaian sengketa Pemilu dan Pilkada, hingga tumpang tindihnya hasil putusan antara pengadilan satu dengan yang lainnya seperti yang terjadi pada kasus Pemilukada Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2010 yang menimbulkan putusan yang berseberangan antar keduanya. Lebih-lebih, proses peradilan terhadap setiap kasus memakan waktu yang cukup lama, ditambah kompetensi hakim serta kurangnya pemahaman peradilan umum terkait Pemilu menyebabkan efektivitas proses penyelesaian permasalahan Pemilu semakin dipertanyakan.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak artikel yang menawarkan gagasan serupa terkait pembentukan lembaga peradilan Pemilu ini dan menyesuaikannya dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Di antaranya menyarankan untuk membentuk badan peradilan khusus Pemilu di bawah MA,membangun badan peradilan khusus hanya untuk sengketa Pilkada, maupun merekonstruksi kewenangan Bawaslu dan menjadikannya sebagai badan peradilan Pemilu. Meskipun demikian, belum terdapat artikel yang cukup untuk menawarkan gagasan dalam membentuk sebuah lembaga yang nantinya dapat mengintegrasikan keseluruhan proses penyelesaian permasalahan Pemilu. Termasuk menyederhanakan sistem peradilan Pemilu secara lebih efektif, efisien dan memberikan keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum.
Oleh karenanya, artiel ini hadir bermaksud untuk menutupi kekurangan di dalam artikel-artikel sebelumnya, dengan menawarkan gagasan berupa konsepsi pembentukan Lembaga peradilan pemilu yang lebih ideal, yakni melalui Mahmakah Pemilu. Mahkamah Pemilu yang ditawarkan di dalam penelitian ini nantinya akan diposisikan sebagai puncak peradilan, guna memastikan agar penyelesaian permasalahan Pemilu terhenti pada satu badan peradilan.
Mengingat bahwa pelaksanaan Pemilu adalah suatu kesatuan proses yang singkat, maka dalam menjamin kepastian hukum dibutuhkan sebuah entitas peradilan yang memiliki putusan yang bersifat final dan mengikat. Sehingga nantinya, segala permasalahan yang terkait dengan pemilu, akan diselesaikan pada puncak Lembaga yang menangani baik yang berkaitan dengan permasalahan administrasi, proses, hasil dan tindak pidana pemilu pada Tingkat pusat maupun Tingkat regional yang sebelumnya berada pada sejumlah Lembaga peradilan yang berbeda-beda menjadi kesatuan yang nantian akan menjadi poros dalam nantinya kemudian memutus permasalahan-permasalahan tersebut melalui Lembaga yang nantinya setara dengan MK dan MA dalam mewujudkan keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan hukum sehingga terwujudlah Electoral Juctice System yakni melalui pembentukan Mahkamah Pemilu.
Mahkamah Pemilu sebagai Lembaga yudisial ini nantikan akan diposisikan sejajar dengan dua puncak peradilan lainnya, yakni MA dan MK. Pun apabila selangkah lebih maju dengan mengkomparasikan dengan negara lain dimana praktik penyelenggaraan sistem kekuasaan kehakiman lebih dari 2 (dua) cabang juga dianut oleh beberapa negara seperti Jerman dan Austria. Pun di Meksiko dan Kosta Rika juga dapat dijadikan sebagai acuan perbandingan dalam membentuk Mahkamah Pemilu di Indonesia. Pada dasarnya, tipologiPemilu di Kosta Rika sejatinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia mengingat Kosta Rika juga menganut sistem presidential yang berpadu dengan sistem multi partai. Begitupula dengan Meksiko yang memiliki kesamaan sistem pemilu yang terdiri dari Pemilu lokal dan nasional, meskipun memiliki sistem ketatanegaraan yang berbeda namun sifat penyelesaian permasalahhn pemilu yang hamper bersifat universal, menjadikan praktik penyelenggaraan Mahkamah Pemilu di Meksiko dapat dijadikan rujukan.
Mengenai Formulasi Mahkamah Pemilu di harapkan dapat menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus pelanggaran, kasus, atau sengketa yang menjadi kompetensi absolut peradilan. Pertama, terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Kedua terkait pelanggaran administrasi Pemilu dengan potensi didiskualifikasinya para pelanggar. Ketiga, sengketa proses Pemilu yang rawan terjadi pelanggaran, termasuk kepada peserta Pemilu akibat dari hasil dan keputusan berita acara KPU. Keempat, berwenang mengadili tindak pidana Pemilu. Dan yang kelima mengadili sengketa hasil dan sengketa pasca Pemilu. Menjadikan Mahkamah Pemilu sebagai lembaga permanen didasarkan kepada beberapa alasan. Pertama, pelaksanaan fungsi pemilihan identik dengan aktivitas yang terus menerus dan dilakukan sepanjang siklus pemilu, hal ini bukan pekerjaan yang dilakukan secara tergesa-gesa atau sembarangan. Oleh karenanya menjadikan Mahkamah Pemilu sebagai lembaga yang permanen berkontribusi pada spesialisasi peradilan dan profesionalisme. Kedua, menjadikan Mahkamah Pemilu sebagai lembaga permanen merupakan faktor positif yang dapat menunjukkan komitmen Indonesia dalam menghormati prinsip dan nilai demokrasi dan postulat instrumen hak asasi manusia internasional, tanpa berpihak pada partai politik, kandidat, pemilih atau perwakilan pers dan lainnya. Selain itu, menjadikannya sebagai lembaga permanen dapat menghasilkan kinerja yang lebih profesional dan memungkinkan untuk mengikuti perkembangan terbaru di lapangan. Termasuk, untuk mengatasi setiap tantangan yang diajukan selama siklus pemilu, termasuk tahap pra dan pasca Pemilu. Ketiga, adalah terkait stabilitas dan eksistensi. Secara umum, adalah praktik yang baik untuk mempercayakan penyelesaian sengketa Pemilu kepada badan permanen dan independen. Alasan utamanya adalah, ketika hukum tidak memberikan mandat kepada Mahkamah Pemilu untuk terus beroperasi setelah masa Pemilu, maka harus terdapat badan lain yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan setiap kemungkinan gugatan yang muncul selama periode pra pemilu dan pasca pemilu, seperti halnya sengketa penarikan kembali suara.
Sebagaimana cabang kekuasaan kehakiman lainnya, selain diawasi oleh dewan kehormatan internal, Mahkamah Pemilu juga akan diawasi oleh Komisi Yudisial. Hal ini menjadi tepat sebab KY telah memiliki kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Harapannya, KY dapat mendukung terwujudnya Mahkamah Pemilu yang mandiri untuk menegakkan hukum dan keadilan, meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
Daftar Pustaka
Buku
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., (2015)”Peradilan Etik Dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru Tentang Rule Of Law And Rule Of Ethics & Constitutional Law And Constitutional Ethics” oleh Jimly Asshiddiqie; Editor, Rahman Yasin, Bobby Tisna Amidjaja, Jakarta Timur: Sinar Grafika
Aryo Wasisto, (2009), “Dampak Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu Terhadap Kepercayaan Publik”, Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI.
Jayus, (2019) , “Hukum Pemilu & Alternatif Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu”, Jakarta Jakad Media Publishing.
David M. Farrel, (2011), “Electoral Systems: A Comparative Introduction”, Macmillan International Higher Education.
UU Nurul Huda, (2018), “Hukum Partai Politik Dan Pemilu Di Indonesia”, Bandung: Fokusmedia.
Topo Santoso, Dkk., (2006), “Penegakan Hukum Pemilu; Praktik Pemilu 2004”, Kajian Pemilu 2009-2014 Tim Peneliti Perdulem, Jakarta.
José de Jesús Orozco Henríquez, Ayman Ayoub, and Andrew Ellis, (2010), “Electoral Justice: The International IDEA Handbook”, Handbook series (Stockholm, Sweden International IDEA)
Jimly Asshiddiqie. (2016), “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I”, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Bewa Ragawino, (2007), “Hukum Tata Negara”, Bandung
Saldi Isra dan Khairul Fahmi, (2019), “Pemilihan Umum Demokratis Prinsip-Prinsip dalam Konstitusi Indonesia”, Depok: PT Raja Grafindo Persada.
Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), (2015) “Kembalinya Mahkamah Kalkulator, Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak”, Jakarta: International Foundation For Electoral System.
Amiruddin dan Zainal Asikin, (2004), “Pengantar Metode Penelitian Hukum”, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Peter Mahmud Marzuki, (2017) ”Penelitian Hukum”, Jakarta: Kencana.
Jurnal
Refly Harun, “Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum,” Jurnal Konstitusi.
Iwan Rois and Ratna Herawati, (2018) “Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pemilu dalam rangka Mewujudkan Integritas Pemilu,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal).
Muhammad Iwan Satriawan and Mukhlis Mukhlis, “Memurnikan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal SASI Universitas Pattimura.
Qurrata Ayuni, (2018) “Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah,” Jurnal Hukum & Pembangunan.
Peraturan Perundang Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PHPU.D-VIII/2010 terkait perkara Permohonan
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2010
Artikel
Nabilah Muhammad, (2024), ”Daftar Masalah Pemilu 2024, dari TPS Telat Buka sampai
Intimidasi”, Databoks diakses pada 19 Maret 2024, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/02/16/daftar-masalah-pemilu-2024-dari-tpstelat-buka-sampai-intimidasi
“Putusan | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” diakses pada 19 Maret, 2024,
https://mkri.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1
Veri Junaidi and Jim Della Giacoma, “Clock Watching and Electioin Complainy in Indonesia
Constitutional Court” diakses pada 19 Maret 2024 http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/05/20/clock-watching-and-electioncomplaints-in-indonesias-constitutional-court/