Khoirunnisa Ratna Firstanti
Staff Kajian
FKPH 2023
“Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipincingkan, tiba di perut tidak dikempiskan”
− Bung Hatta
Manusia sebagai makhluk hidup memiliki berbagai kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam kehidupan sehari-harinya. Seiring dengan kemajuan zaman yang sejalan dengan perkembangan teknologi yang pesat, kebutuhan manusia juga terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan tersebut bertujuan untuk kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Bagi sebagian orang, pendapatan serta kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar menjadi faktor dalam mengukur kesejahteraan seseorang. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan diri, banyak hal yang dapat dilakukan, salah satunya bekerja untuk memperoleh pendapatan. Kendati demikian, seringkali timbul keinginan untuk mengambil jalan pintas supaya menghasilkan lebih banyak pendapatan. Salah satu penyimpangan dalam usaha mencapai kesejahteraan diri adalah dengan melakukan korupsi.
Sejak lama, korupsi telah menjadi problematika yang mengganggu dalam pertumbuhan dan kemakmuran negara. Tidak hanya “mencuri” uang negara, korupsi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan tidak jarang publik figur juga melakukan perbuatan yang serupa. Dalam perspektif hukum sendiri, korupsi merupakan sebuah pelanggaran serius terhadap keadilan. Tindak pidana korupsi menyandang predikat kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena dampak yang timbul dari perbuatan tersebut berakibat pada masyarakat luas secara tidak langsung.1
Korupsi diidentikkan dengan perbuatan yang merusak, karena perbuatan tersebut menimbulkan kerugian yang cukup besar. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi” berpendapat bahwa korupsi adalah lebih dari sekadar tindak pidana, dimana perbuatan tersebut dipenuhi oleh berbagai keburukan yang menjadi manifestasi dari penyakit hati.2 Junaidi Suwartojo berpendapat bahwa korupsi merupakan
tindakan seseorang atau lebih yang bertentangan dengan norma yang berlaku dengan memanfaatkan atau menyalahgunakan kewenangan atau peluang melalui berbagai proses dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi ataupun golongannya, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan kerugian kepentingan dan/atau keuangan negara atau masyarakat. Dengan kata lain, korupsi adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk memberikan keuntungan kepada diri sendiri yang didapatkan dengan cara melanggar aturan.3
Berdasarkan hukum positif Indonesia, korupsi digolongkan ke dalam 30 jenis yang kemudian dipersempit menjadi tujuh (7) kelompok. Ketujuh kelompok tersebut yaitu tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Pengaturan mengenai jenis tindak pidana korupsi ini dapat dilihat pada Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam klasifikasi tersebut, terlihat salah satu penyebab yang memunculkan tindak pidana korupsi adalah jabatan dan kekuasaan yang melekat pada seseorang.
Di antara jenis yang telah disebutkan di atas, tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Dampak dari perbuatan ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Definisi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dapat ditemukan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi,
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”4
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh perseorangan maupun suatu korporasi. Berdasarkan pengertian pada Pasal 2 ayat (1) di atas, terdapat satu unsur yang penting untuk diperhatikan, yaitu unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Secara gramatikal, Kamus Bahasa Indonesia mengartikan kata “merugikan” sebagai mendatangkan rugi, menyebabkan rugi, dan mendatangkan sesuatu yang kurang baik (kerusakan atau kesusahan).5 Selanjutnya, “kerugian keuangan negara” di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dijelaskan sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 6 Sedangkan “perekonomian negara” berdasarkan Penjelasan Umum, merujuk kepada kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.7
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat diambil kesimpulan unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” artinya tindakan atau perbuatan yang menyebabkan kerugian uang, surat berharga, atau barang secara nyata dan pasti akibat dari pelanggaran hukum, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian, serta mengganggu kehidupan ekonomi negara yang diatur untuk memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang merugikan keuangan negara sangat besar dan luas, sehingga ancaman denda yang dikenakan juga besar.
Pemerintah terus berupaya untuk meminimalisir tindak pidana korupsi dengan pembentukan komisi yang bertugas untuk memberantas tindak pidana tersebut, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Meskipun telah dibentuk peraturan tentang tindak pidana korupsi, namun pada kenyataannya perbuatan tersebut masih marak terjadi. Dilansir dari Kompas.id, dalam sembilan tahun terakhir, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia tidak terdapat kemajuan. Sampai dengan tahun 2023, tidak terjadi penurunan maupun peningkatan skor IPK, namun terjadi penurunan peringkat.8 Banyak dorongan yang membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, seperti ketimpangan penghasilan, gaya hidup konsumtif, keserakahan, dan lainnya.9 Dorongan yang berasal dari internal tentunya akan lebih susah untuk dicegah dibandingkan dengan dorongan yang berasal dari eksternal.
Penegakan hukum dalam rangka mencegah tindak pidana korupsi di Indonesia perlu dikencangkan lagi. Pada bulan Maret 2024, KPK telah mengeluarkan indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) 2024 untuk mempercepat upaya pencegahan korupsi di lingkup Pemerintah Daerah.10 Hal ini merupakan kabar baik di tengah huru-hara korupsi yang terjadi di Indonesia. Tantangan penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi harus melibatkan semua elemen, baik masyarakat, pemerintah, dan lembaga peradilan. Ketiga elemen ini harus saling bahu-membahu agar problematika tindak pidana korupsi di Indonesia dapat teratasi. Diperlukan sistem pengawasan oleh lembaga legislatif dan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia dan perlu pengawasan sistem oleh Komisi Yudisial dalam mengawasi setiap hukum yang diambil oleh hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.11 Kesadaran dari masyarakat dan penguatan sistem hukum dapat membangun masyarakat yang adil dan berintegritas.
- Abdul Fatah, Nyoman Serikat Putra Jaya, & Henny Juliani, Kajian Yuridis Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Law Journal, Volume 6 Nomor 1, 2017, hlm. 2. ↩︎
- Pujiyono, Tindak Pidana Korupsi, Tangerang, Universitas Terbuka, 2017, hlm. 3. ↩︎
- Dwina Putri, Korupsi dan Perilaku Koruptif, Tarbiyah bil Qalam: Jurnal Pendidikan Agama dan Sains, Volume 5 Nomor 2, 2021, hlm. 50. ↩︎
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ↩︎
- Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), s.v. “rugi”, Diakses 5 April 2024, https://kbbi.web.id/rugi ↩︎
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. ↩︎
- Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ↩︎
- Susana Rinta Kumalasanti, “Peringkat RI Merosot dalam Pemberantasan Korupsi”, Kompas.id, 30 Januari 2024, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/30/peringkat-ri-merosot-dalam-pemberantasan-korupsi, Diakses pada 5 April 2024. ↩︎
- Yenni Wiranti dan Ridwan Arifin, Tantangan dan Permasalahan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Kosmik Hukum, Volume 20 Nomor 1, hlm. 52. ↩︎
- Komisi Pemberantasan Korupsi, Luncurkan MCP 2024, KPK Dorong Percepatan Pencegahan Korupsi di Pemda, Jakarta, Biro Hubungan Masyarakat, 2024, https://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/3392-luncurkan-mcp-2024-kpk-dorong-percepatan-pencegahan-korupsi-di-pemda, Diakses pada 5 April 2024. ↩︎
- Ibid, hlm. 55. ↩︎