Pemberian Hak Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Alyssa Camilla Rashida
Staff Kajian
FKPH 2023

Jika Hukum Diibaratkan kapal, etika adalah samuderanya. Jika samudera etikanya kering, kapal hukum tak akan pernah berlayar mencapai pulau keadilan“. -Jimly Asshiddiqie

Diberitakan di berbagai media kasus kekerasan sedang marak terjadi, salah satunya kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan. Kekerasan seksual merupakan permasalahan sosial yang serius. Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual dan seksualitas korban. Kekerasan sosial berkaitan erat dengan unsur pemaksaan dan pemaksaan mencakup beberapa bentuk tindakan. Diantaranya intimidasi secara psikologis, pemerasan atau ancaman. Kekerasan seksual dapat terjadi apabila korban sedang dalam kondisi tidak dapat menolak misalnya ketika mabuk, dalam pengaruh obat tidur, atau terganggu secara mental. Selain itu kekerasan seksual dapat dipicu dari beberapa faktor, kurangnya pengetahuan atau pendidikan rendah dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan kekerasan seksual, kemudian faktor lingkungan sosial yang buruk dapat mendukung adanya tindakan kekerasan seksual, dikarenakan kebudayaan dan kebiasaan yang sebelumnya sudah berlaku dianggap ‘‘normal‘‘ dalam lingkungan sosial tersebut. 

Perlindungan Kepada Korban Kekerasan Seksual

Diperlukannya perlindungan terhadap anak agar hak haknya dapat terpenuhi serta bertujuan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dilakukan karena anak-anak merupakan kelompok yang lemah dan rentan. Tanggung jawab perlindungan anak ada pada orang tua, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia Pasal 26 ayat (2) yang berbunyi, ‘‘orang tua memiliki hak pertama untuk memilih jenis pendidikan yang akan diberikan pada anaknya‘‘, artinya orang tua lah yang memiliki hak untuk mengarahkan serta memutuskan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya, hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak Pasal 10 yang menyatakan bahwa ‘‘setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan“. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual idealnya mendapatkan perhatian negara, terlebih lagi korban kekerasan seksual banyak terjadi pada anak-anak, maka dari itu diperlukan penegakan hukum terkait korban kekerasan seksual harus tepat dan sesuai dengan tujuan hukum. Perlindungan hukum merupakan upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan keamanan kepada saksi/korban. Perlindungan hukum dapat diberikan berupa pelayanan medis, restitusi, kompensasi, dan bantuan hukum. 

Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini menjabarkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas:

  1. Pelecehan seksual non-fisik,
  2. Pelecehan seksual fisik,
  3. Pemaksaan kontrasepsi,
  4. Pemaksaan sterilisasi,
  5. Pemaksaan perkawinan,
  6. Penyiksaan seksual,
  7. Eksploitasi seksual,
  8. Perbudakan seksual,
  9. Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa selain tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana disebutkan pada ayat (1), tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi:

  1. Perkosaan
  2. Perbuatan cabul 
  3. Persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi sekseual terhadap anak
  4. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban 
  5. Pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual 
  6. Pemaksaan pelacuran 
  7. Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual
  8. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga
  9. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual 
  10. Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Korban

Dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yaitu dampak fisik, psikologis, dan sosial. Dampak fisik akibat pelecehan seksual misalnya seperti munculnya memar, atau luka. Bagi perempuan, dampak yang paling berat dapat berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan, selain itu tertular penyakit menular seksual adalah resiko serius yang juga harus dihadapi. Akibat dari kekerasan yang diterima, sangat memungkinkan korban mengalami gangguan psikologis berupa gangguan emosional maupun gangguan perilaku. Korban seringkali mengalmi kecurigaan dan ketakutan mendalam terhadap orang lain. Rasa takut ini bisa muncul ketika sedang berada ditempat atau suasana tertentu yang dapat memicu ingatan pahit yang telah dialami korban sebelumnya. Kejadian ini seringkali meninggalkan bekas psikologis yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Dampak sosial korban pelecehan seksual seringkali merasakan stigma atau dikriminasi dari lingkungan sekitar, yang dapat membuat mereka merasa dikucilkan. Rasa malu dam takut dengan orang lain dapat mendorong korban untuk mengisolasi diri dari pergaulan. Hal ini semakin menambah kesulitan dalam proses penyembuhan mereka. 

Hak Terhadap Korban Kekerasan Seksual 

Dengan adanya perlindungan hukum dimaksudkan sebagai upaya hukum yang harus dilakukan aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman baik lahir maupun batin terhadap gangguan dan ancaman dari pihak manapun. Kekerasan seksual diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 pasal 1 ayat 1 Tindak Pidana Kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 5 saksi dan korban kekerasan seksual berhak mendapatkan perlindungan berupa:

  1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
  2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
  3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
  4. Mendapat penerjamah;
  5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
  6. Mendapat informasi mengenai putusan perkembangan kasus;
  7. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
  8. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
  9. Dirahasiakan identitasnya;
  10. Mendapat identitas baru;
  11. Mendapat tempat kediaman sementara;
  12. Mendapat tempat kediaman baru;
  13. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
  14. Mendapat nasihat hukum
  15. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/ atau
  16. Mendapat pendampingan;

Perlindungan Saksi dan Korban dimuat dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 pasal 6 yang berbunyi:

  1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:
  1. Bantuan medis: dan
  2. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
  3. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan keputusan LPSK.

Daftar Pustaka

Yusyanti Diana. (2020). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN DARI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Jurnal Penelitian Hukum De Jure. Vol 20, No 4. Hal 620-621.

Anindya Astri, Indah Yuni Syafira Dewi, Dwi Zahida Oentari. (2020). Dampak Psikologis dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan. Terapan Informatika Nusantara. Vol 1, No 3. Hal 138. 

Kirsten Kathryn Voges, Nemen Toar Palilingan, F. Tommy Sumakul. (2022). PENEGAKAN HUKUM KEPADA PELAKU PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN YANG DILAKUKAN SECARA ONLINE. Lex Crimen. Vol 7, No 7. 

Paradiaz Rosania, Soponyono Eko. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. Volume 4, Nomor 1. Hal 61-62.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Postingan Lain