No Viral No Justice: Antara Keadilan, Sensasi, dan Etika Hukum di Era Media Sosial

Angela Audreana Artha Safira Saragih
Staff Kajian
FKPH 2023

Kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi telah membawa banyak perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satunya adalah munculnya media sosial sebagai cara baru untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan menyampaikan pendapat. Hal ini sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, di sisi lain, media sosial juga membawa banyak masalah baru yang berkaitan dengan penegakan hukum. Media sosial sebagai platform untuk interaksi publik telah mengubah perspektif masyarakat terhadap keadilan.

Beberapa tahun belakang, muncul sebuah fenomena di media sosial yang muncul dengan istilah “penegakan hukum berbasis media sosial” atau yang lebih umum disebut dengan “No Viral, No Justice”.[1] Media sosial memungkinkan penyebaran informasi yang cepat dan luas yang menyebabkan sebuah kasus dapat menjadi sorotan publik dalam waktu yang cepat sehingga mendorong aparat penegak hukum untuk bergerak lebih cepat karena mendapat tekanan dari masyarakat.

Fenomena ini tentu menjadi kritik keras bagi aparat penegak hukum yang seringkali  dianggap lambat dan tidak responsif.[2] Masyarakat menganggap sebuah kasus harus “viral” terlebih dahulu agar mendapat keadilan seutuhnya. Banyak anggapan bahwa sebuah kasus hanya ditangani secara serius setelah tersebar luas di media sosial, memberikan kesan bahwa sorotan publik adalah cara yang lebih mudah untuk mencapai keadilan daripada proses hukum formal. Namun dengan memanfaatkan media sosial, publik dapat lebih leluasa menyuarakan keadilan, mengawasi, dan menilai proses penegakan hukum yang terjadi.

Beberapa kasus viral di media sosial dan menjadi sorotan publik, seperti kasus penganiayaan kepada David Ozora oleh Mario Dandy, kasus Bharada E dalam kasus pembunuhan berencana oleh Ferdy Sambo terhadap Brigadir Josua, kasus predator anak Abi Sudirman dan Yusuf Bachtiar yang dilakukan kepada anak-anak di panti asuhan, dan kasus-kasus lainnya terus dikawal oleh publik untuk ditindak dengan cepat dan tepat untuk memberikan keadilan kepada korban-korbannya.

            Fenomena ini juga memberi tantangan tersendiri. Hal ini dianggap dapat  memberikan standar ganda keadilan yang memberikan perlakuan berbeda antara kasus viral dan kasus non-viral. Jika menilik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, hal ini merupakan perbuatan diskriminasi dan juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap orang mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum (Equality before the law).[3]

Fenomena ini terkadang juga melanggar Pasal 40 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena tidak menjamin perlindungan hukum terhadap penyebaran aib atau informasi pribadi seseorang tanpa pertimbangan etis.[4] Fenomena ini rentan berbenturan dengan pasal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyebaran informasi palsu (hoax) di dunia maya yang diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Perbuatan tidak menyenangkan yang menimbulkan rasa tidak nyaman secara umum, termasuk dalam ranah media sosial dapat dijerat dengan pasal 335 ayat (1) KUHP.

Masalah lain yang muncul dari fenomena “No Viral, No justice” adalah pergeseran fokus dari pencarian keadilan menuju pencarian sensasi. Banyak terjadi perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat agar eksistensi dirinya dapat dilihat oleh orang lain. Mereka sering menggunakan media sosial tidak hanya untuk berbagi informasi, tetapi juga mencari popularitas melalui konten sensasional.[5] Dalam konteks ini, keadilan seringkali diukur dari seberapa besar dukungan atau kemarahan publik yang ditunjukkan melalui media sosial, daripada berdasarkan penegakan hukum yang objektif dan terstruktur. Viralitas juga cenderung membentuk narasi sederhana yang hitam-putih, mengabaikan kompleksitas hukum dan fakta kasus yang seharusnya dipertimbangkan oleh pengadilan.

Fenomena ini juga dapat memicu apa yang disebut sebagai “Trial by Press” atau peradilan dengan penggunaan media publikasi massa yang merupakan sebuah peradilan yang dilakukan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias, yang biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, yang menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut seperti sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan.[6] Singkatnya, pers menuduh atau mengadili seseorang sebagai pihak yang bersalah sebelum pengadilan memutuskan apakah dia bersalah. Sensasi yang dihasilkan dari viralitas ini tidak selalu mencerminkan keadilan, melainkan lebih mengarah pada bentuk hiburan dan konsumsi informasi instan oleh masyarakat.

Selain tantangan keadilan dan sensasi, fenomena viralitas ini juga membawa pertanyaan penting tentang etika hukum. Bagaimana sistem hukum harus merespons tekanan dari media sosial? Etika hukum merupakan landasan moral yang lebih tinggi daripada hukum formal. Di satu sisi, hukum seharusnya independen dan tidak dipengaruhi oleh tekanan eksternal, termasuk opini publik yang dibentuk melalui media sosial. Namun, di sisi lain, peran masyarakat dalam penegakan hukum, termasuk melalui platform digital, tidak dapat diabaikan.[7]

Di Indonesia, terdapat Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjadi dasar hukum yang mengatur perilaku di media sosial yang mencakup beberapa aspek, termasuk larangan terhadap penyebaran berita bohong, pencemaran nama baik, dan pelanggaran kesusilaan.[8] Meskipun kasus tersebut menjadi viral di media sosial, hak-hak individu, termasuk asas praduga tak bersalah, harus dilindungi. Namun, penegak hukum sering kali menghadapi dilema antara merespons dengan cepat untuk menenangkan opini publik dan tetap mengikuti proses hukum yang seharusnya. Hal ini menuntut adanya keseimbangan antara transparansi, akuntabilitas, dan independensi peradilan di tengah arus informasi yang sangat cepat dan dinamis.[9]

Media sosial menawarkan peluang baru untuk mencari keadilan. Fenomena “No Viral, No Justice” menunjukkan bagaimana media sosial telah mengubah cara keadilan dilihat dan dicari oleh masyarakat. Viralitas dapat menjadi sarana untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka yang tidak memiliki akses, fenomena ini juga menghadirkan tantangan besar dalam hal sensasi dan etika hukum. Penting juga bagi pengguna media sosial untuk memahami tanggung jawab mereka dan berkomitmen pada praktik komunikasi yang etis. Sistem hukum di era digital perlu menavigasi dengan hati-hati antara merespons tekanan publik dan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan yang objektif dan adil.


[1]Fenomena ‘No Viral, No Justice’ Kasus Perundungan Jadi Tamparan Keras bagi Penegakan Hukum. (2024, March 28). EMedia DPR RI. Retrieved October 24, 2024, from https://emedia.dpr.go.id/2024/03/28/fenomena-no-viral-no-justice-kasus-perundungan-jadi-tamparan-keras-bagi-penegakan-hukum/

[2] KY | Fenomena “No Viral No Justice” sebagai Kritik Penegakan Hukum. (2024, August 24). Komisi Yudisial. Retrieved October 24, 2024, from https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/15710/fenomena-no-viral-no-justice-sebagai-kritik-penegakan-hukum

[3] Lobang Hitam “No Viral No Justice”. (2023, July 3). detikNews. Retrieved October 24, 2024, from https://news.detik.com/kolom/d-6803418/lobang-hitam-no-viral-no-justice

[4] Infografik : No Viral No justice Di Indonesia. (2023, December 14). Universitas Airlangga. Retrieved October 24, 2024, from https://unair.ac.id/infografik-no-viral-no-justice-di-indonesia/

[5] Nurhanifah. (2021, October 2). Fenomena Sensasi di Media Sosial dan Dampaknya terhadap Perilaku Remaja Sensation Phenomenon in Social Media and Its Impact on Adolescent Behavior. Jurnal Online Universitas Medan Area. Retrieved October 28, 2024, from https://ojs.uma.ac.id/index.php/simbolika/article/view/5013/3561

[6] Marda, G., Karnen, Z., & Caskiman. (2023, Januari 01). Jurnal Hukum dan Kesejahteraan Universitas Al Azhar Indonesia. TRIAL BY THE PRESS DALAM FENOMENA PEMBERITAAN KASUS TERORISME DI INDONESIA, VIII. http://dx.doi.org/10.36722/jmih.v8i1.1881

[7] Prof. Dr. H. Barsihannor, M, Ag. (2024, August 23). Etika di atas Hukum dan Politik. Fakultas Adab & Humaniora. Retrieved October 28, 2024, from https://fah.uin-alauddin.ac.id/artikel-3667-etika-di-atas-hukum-dan-politik

[8]Bermedia Sosial dengan Bijak, Yuk sama – sama Fahami UU ITE. (2021, June 11). Pengadilan Negeri Curup. Retrieved October 29, 2024, from https://www.pn-curup.go.id/artikel/artikel-bermedia-sosial-dengan-bijak-yuk-sama-sama-fahami-uu-ite

[9]Independensi dan Akuntabilitas Peradilan. (2017, April 25). FARIDWAJDI. Retrieved 10 29, 2024, from https://farid-wajdi.com/detailpost/independensi-dan-akuntabilitas-peradilan

Postingan Lain