Syafrial Rizky Ibnu Yudha Pratama
Staff Kajian
FKPH 2023
“Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant – sesuatu dinyatakan sempurna apabila setiap bagiannya lengkap.”
Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak konstitusi yang secara jelas tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam prakteknya, masih banyak terdapat permasalahan salah satunya terkait dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hubungan kerja dapat diartikan sebagai suatu relasi yang timbul dari sebuah perjanjian kerja yang dibuat (consensus) secara bersama oleh pemberi kerja dan pekerja.[1] Dalam perjanjian kerja dimuat unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[2] Dari ketiga unsur tersebut, terdapat salah satu unsur yang menjadikan hubungan kerja ini tidak sama dengan hubungan keperdataan lain yakni unsur perintah (gezag ver houding). Adanya unsur perintah ini mengakibatkan adanya hubungan yang bersifat subordinatif, karena kedudukan kedua pihak yakni pemberi kerja dengan pekerja yang tidak seimbang.[3] Oleh karena itu, dengan adanya hubungan yang bersifat subordinatif tersebut suatu hubungan kerja telah mengandung ketentuan-ketentuan yang bersumber dari kesepakatan para pihak (kaidah otonom), dan ketentuan-ketentuan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara/Pemerintah (kaidah heteronom).[4] Peran Negara/Pemerintah menjadi penting untuk menyeimbangkan hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja. Hal ini juga berlaku dalam hal PHK.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU 6/2023), terdapat ketentuan mengenai PHK yang cukup ambigu. Secara spesifik yakni pada Pasal Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021). Perlu diingat bahwa, meskipun PP 35/2021 ini merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020) yang sudah tidak berlaku. Namun, pada Pasal 184 huruf b UU 6/2023 disebutkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UU 11/2020 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU 6/2023. Maka, PP 35/2021 tetap berlaku dan mengikat. Ambiguitas mengenai mekanisme PHK pada PP 35/2021 ini secara spesifik terdapat pada Pasal 52 ayat (2) dan (3) yang membahas mengenai mekanisme PHK karena alasan pekerja melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja.
Definisi Pelanggaran Bersifat Mendesak yang Tidak Pasti
Hal pertama yang menjadi pertanyaan ialah definisi dari “pelanggaran bersifat mendesak”. Definisi ini menjadi penting guna mengetahui bagaimana kualifikasi beserta limitasi dari “pelanggaran yang bersifat mendesak” tersebut. Dalam Pasal 52 ayat (2) disebutkan alasan PHK yakni karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Tidak ada kualifikasi tertentu mengenai “pelanggaran bersifat mendesak” kecuali “diatur dalam perjanjian kerja”. Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 52 ayat (2) juga tidak secara pasti menyebutkan definisi “pelanggaran bersifat mendesak” melainkan menggunakan frasa “misalnya dalam hal”. Bunyi lengkap dari penjelasa Pasal 52 ayat (2) sebagai berikut:
Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal:
- melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;
- memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;
- mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
- melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
- menyerang, menganiaya, mengancam, ataumengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja;
- membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;
- dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
- membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
- melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Penggunaan frasa “misalnya dalam hal” ini menyebabkan adanya ketidakpastian dari definisi “pelanggaran yang bersifat mendesak”. Adanya kaidah heteronom yang tidak pasti ini mengakibatkan kerancuan juga pada kaidah otonom. Terdapat perbedaan penafsiran dari “pelanggaran bersifat mendesak” akan berimplikasi pada penerapannya baik dari sisi pemberi kerja ataupun pekerja. Selain itu, bila terdapat perselisihan PHK juga akan berpengaruh terhadap jalannya proses penyelesaian hubungan industrial baik saat perundingan maupun dalam proses peradilan.
Mekanisme PHK yang Ambigu
Pada Pasal 52 ayat (3) disebutkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2). Pertama, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana mekanisme PHK secara utuh berdasarkan PP 35/2021. Pengaturan mengenai tata cara atau mekanisme PHK tercantum dalam Pasal 37-39 PP 35/2021.
Pertama, pada Pasal 37 mengatur mengenai pemberitahuan PHK. Pada Pasal 37 ayat (1) dijelaskan bahwa baik Pengusaha, Pekerja, Serikat Pekerja, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK. Lalu pada Pasal 37 ayat (2) disebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari maka maksud dan alasan PHK diberitahukan kepada Pekerja dan/atau Serikat Pekerja apabila Pekerja bergabung dengan Serikat Pekerja dalam Perusahaan. Pada Pasal 37 ayat (3) menyebutkan bahwa pemberitahuan PHK dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja atau Serikat Pekerja paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Pada 37 ayat (4), apabila PHK dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK.
Kedua, Pada Pasal 38 mengatur mengenai penyelesaian PHK apabila Pekerja telah mendapat surat pemberitahuan dan tidak menolak PHK. Pada Pasal 38 disebutkan bahwa Pengusaha harus melaporkan PHK kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
Ketiga, Pada Pasal 39 mengatur apabila terdapat penolakan dari Pekerja dan apabila terjadi perbedaan pendapat antara Pengusaha dengan Pekerja. Pada Pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa Pekerja yang telah menerima surat pemberitahuan PHK dan menyatakan menolak, harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama 7 hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan. Pada Pasal 39 ayat (2) disebutkan apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai PHK, penyelesaian PHK harus diselesaikan melalui perundingan bipartit. Terakhir, pada Pasal 39 ayat (3) jika perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan maka tahap berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terdapat tiga tahapan penting dari mekanisme PHK yakni pemberitahuan, proses penerimaan atau penolakan PHK, dan proses penyelesaian PHK. Terdapat ketidakjelasan pada Pasal 52 ayat (2) dan (3) PP 35/2021. Pasal 52 ayat (3) menyebutkan bahwa PHK dengan alasan sebagaimana Pasal 52 ayat (2) dapat dilakukan tanpa pemberitahuan merujuk pada Pasal 37 ayat (2). Lalu, pada penjelasan Pasal 52 ayat (2)disebutkan bahwa “Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal…”. Hal yang menjadi ambigu disini adalah bagaimana penerapan PHK pada Pasal 52 ayat (2) dan (3) ini terhadap mekanisme PHK yang sudah dijabarkan pada Pasal 37-39. Apakah langsung melewati Pasal 37-39 ayat (1) dan langsung diberlakukan Pasal 39 ayat (2) dan (3) atau ketentuan mengenai mekanisme PHK dalam Pasal 37-39 ini tidak berlaku sama sekali dan dapat dilakukan PHK secara sepihak tanpa terkecuali.
Selain itu, mengenai PHK sepihak dengan alasan pelanggaran bersifat mendesak pada penjelasan Pasal 52 ayat (2) ini juga menjadi masalah karena rumusannya serupa dengan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat berdasarkan putusan No. 012/PUU-I/2003 oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut…”. Pertimbangan hukum MK terkait PHK karena kesalahan berat yang masuk kualifikasi tindak pidana menyebutkan, “…Ketentuan ini telah melanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945. Seharusnya bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana…”.[5] Dari pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerja wajib memperoleh perlindungan hukum dari adanya tuduhan kesalahan berat dan pengusaha tidak bisa melakukan PHK karena alasan tersebut tanpa proses hukum.[6] Maka dari itu, penjelasan Pasal 52 ayat (2) mengenai pelanggaran bersifat mendesak yang serupa dengan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengenai kesalahan berat seharusnya tidak perlu ada. Karena telah jelas bahwa PHK karena pelanggaran berat bertentangan dengan konstitusi dan tidak punya kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan MK. Harapannya, semoga Pasal 52 ayat (2) dan (3) PP 35/2021 ini dapat dikaji dan dirumuskan ulang agar tidak menimbulkan adanya kekaburan hukum.
[1] Wibowo, R. F., & Herawati, R. (2021). Perlindungan Bagi Pekerja Atas Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) Secara Sepihak. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(1), 109–120.
[2] Gunadi, F. (2020). Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(4), 858–878.
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Farianto, Willy. (2024). Kritik untuk PHK karena Pelanggaran Bersifat Mendesak. Hukumonline. https://www.hukumonline.com/berita/a/kritik-untuk-phk-karena-pelanggaran-bersifat-mendesak-lt65fac3b111ed4/
[6] Ibid