Mutia Laras Bambang Putri | Staf Kajian FKPH 2025
Perseroan Terbatas atau PT merupakan Badan Usaha yang Berbadan Hukum, yang perannya cukup penting dalam sistem ekonomi modern. PT dianggap sebagai bentuk usaha yang lebih demokratis, dan tanggung jawab pemilik terbatas pada modal yang telah disetorkan. Persoalan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas tidak hanya tentang ekonomi, namun juga bersangkutan menyangkut hak-hak hukum secara konstitusional. PT sendiri didirikan dan dijalankan berdasarkan modal yang telah disetor oleh pemegang saham, dan saham merupakan bukti dari kepemilikan di dalam PT tersebut.
Pemegang saham adalah pemilik yang sah dari PT. Dalam dunia bisnis, Pemegang saham memiliki keleluasaan dalam Perseroan Terbatas, namun keleluasaan mereka tergantung kepada kepemilikan saham. Pemegang Saham merupakan salah satu stakeholder utama dalam perseroan terbatas , yang berperan penting dalam menyuntikkan dana ke dalam perusahaan dan berkontribusi terhadap pengembangan usaha (Aji, 2015). Pemegang saham sendiri disebutkan dalam Undang Undang No.40 tahun 2017 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), sebelumnya dalam UU PT No.1 Tahun 1995 disebutkan bahwa pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), merupakan bagian dari perseroan, merupakan orang pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan.
Pemegang saham terbagi atas dua bagian, yaitu pemegang saham minoritas dan pemegang saham mayoritas. Yaitu ada Pemegang Saham Mayoritas yaitu pemegang saham dalam Perseroan Terbatas yang memiliki lebih dari 50% saham perusahaan, memberikan kontrol secara penuh atas pengambilan keputusan perusahaan, sedangkan Pemegang Saham Minoritas merupakan pemegang saham dalam Perseroan Terbatas yang memiliki kurang dari 50% saham dan mereka biasanya hanya memegang kurang dari 5-10% dari saham, serta posisinya yang rentan dan perannya tidak begitu berpengaruh terhadap operasional perusahaan. Dalam hal ini kedudukan pemegang saham minoritas berpotensi dengan kerugian-kerugian, dan meskipun ada perlindungan hukum bagi pemegang saham mayoritas, sering terjadi permasalahan yang merugikan pemegang saham minoritas, seperti kurangnya transparansi dalam transaksi perusahaan atau penyelewengan dalam pembagian laba. Walaupun UU PT untuk pemegang saham minoritas telah mengatur perlindungan hukum seperti hak suara dalam RUPS, hak mengajukan gugatan derivatif, dll. Semua itu tidak menutup kemungkinan bahwa pemegang saham tidak mendapatkan kerugian, karena efektifitas dari UU PT tersebut bergantung pada pelaksanaan aturan
Para pemegang saham diatur dalam Undang Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Pemegang saham minoritas perannya tidak begitu berpengaruh dibanding pemegang saham mayoritas dalam kepemilikannya pada perseroan terbatas , namun pemegang saham minoritas memiliki kepentingan yang besar, sehingga pemegang saham mayoritas ini cenderung untuk memonopoli pelaksanaan jalannya perseroan terbatas. Selain itu pemegang saham minoritas juga rentan terkena praktik seperti penindasan (oppression) atau pemaksaan pelepasan saham (freeze out) oleh pemegang saham pengendali atau pemegang saham mayoritas. Namun UUPT dan GCG telah menegaskan perlakuan adil dan setara bagi semua pemegang saham.
Peran dan kedudukan pemegang saham dalam perseroan terbatas sesuatu yang sangat urgen dalam kedudukan dan penempatannya masing-masing. Walaupun antara pemegang saham satu dengan pemegang saham yang lainnya berbeda. Ada kepemilikan pemegang saham dan juga selaku pengendali pada perseroan terbatas dan ada kepemilikan saham tidak selaku pengendali pada perseroan terbatas. Hal ini karenakan kepemilikan saham yang berbeda-beda satu dan lainnya. UU PT mengartikan pada perseroan terbatas itu selalu menyebutkan badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasarnya yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang. Jelas tertulis pada ketentuan UU PT bahwa PT bagian dari persekutuan modal dalam bentuk Modal Dasar perseroan terbatas yang terbagi dalam bentuk saham. Maka kedudukan komposisi pemegang saham dalam kepemilikan sesuatu yang memberikan tanggung jawab.
Kedudukan pemegang saham minoritas diistilahkan sehari-hari untuk membedakan kepemilikan pemegang saham yang mayoritas dan juga selaku pengendali pada perseroan terbatas. Namun UUPY tetap memberikan kedudukan dan peran bagi pemegang saham minoritas hal ini terlihat pada ketentuan dan aturan yang menyebutkan. Pada ketentuan Pasal 61 ayat 1 UU PT jelas menyebutkan setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar dari adanya akibat keputusan RUPS, dan juga atas keputusan Direksi dan/atau keputusan Dewan Komisaris. Hal ini penting bahwa kepemilikan saham itu memberikan hak kepada pemiliknya untuk :
- Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham);
- Menerima pembayaran dividen dan sisi kekayaan hasil likuidasi;
- Menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang perseroan terbatas.
Itulah menjadi pengharapan terbesar dari pemegang saham sebagaimana yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya selaku pemegang saham yang ada.
UU PT pada ketentuan Pasal 79 menyebutkan setiap pemegang saham secara sendiri sendiri atau secara bersama-sama yang memiliki minimal 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau jumlah lebih kecil yang ditentukan oleh anggaran dasar, dapat meminta diselenggarakannya RUPS. Meminta diselenggarakan RUPS itu untuk menempatkan hak dan kewajiban dari pemegang saham. Sebab penyelenggaraan RUPS sebagai organ tertinggi pada perseroan terbatas tidak lain bagian dari pengambilan keputusan pada perseroan terbatas. Ketentuan Pasal 79 UUPT menjadi hal yang sangat urgen jika seandainya pemegang saham minimal kepemilikan 1/10 telah meminta kepada Direksi atau Komisaris untuk menyelenggarakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) namun tidak juga dilaksanakan oleh Direksi dan Komisaris, maka Pasal 80 UUPT menyebutkan pemegang saham yang dimaksud dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan pemberian izin melakukan sendiri pemanggilan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Bentuk permintaannya adalah dalam mengajukan permohonan dan bukan merupakan gugatan yang disesuaikan dengan asas actor sequitur forum rei permohonan diajukan kepada pengadilan negeri ditempat perseroan berkedudukan. Meski permintaan kepada pengadilan negeri itu berbentuk permohonan yang bersifat voluntair namun sistem pemeriksaannya tidak bersifat ex parte atau tidak hanya pemohon seperti pemeriksaan permohonan, tetapi bersifat kontradiktoir atau in partes, dimana sebelum mengeluarkan penetapan, pengadilan juga mendengar para direksi, para komisaris, maka ketentuan-ketentuan ini untuk memberikan kepastian saat hakim dalam mengeluarkan penetapannya.
Dengan adanya ketentuan sebagaimana pada Pasal 80 UU PT dalam memberikan kepastian hukum putusan penetapan tersebut bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Namun hal ini berbeda jika permohonannya ditolak, maka yang bersangkutan dapat mengajukan kasasi. Ketentuan yang menyebutkan putusan penetapan tersebut bersifat final dan mengikat adalah untuk memberikan kepastian dan kedudukan para pemegang saham yang jumlah kepemilikan sahamnya terbatas. Untuk melihat segala permasalahan yang ada tersebut, maka harus melihat kedudukan dan bertanggung jawab para pemegang saham, tanggung jawab Direksi, dan tanggung jawab Komisaris.
Adanya pemisahan antara perseroan dan pemegang saham disebut sebagai tabir dari pembentukan perseroan terbatas (veil of incorporation) karena jika perseroan berbadan hukum, pengadilan tidak akan melakukan piercing the corporate veil atau menyikap tabir untuk tidak meminta pertanggung jawaban pemegang saham. Prinsip separate entity yang dimiliki perseroan tidak bersifat mutlak karena meski perseroan kedudukannya terpisah dari pemegang saham, dalam hal tertentu pengadilan dapat meniadakan sifat kemandirian, meniadakan cadar yang memisahkan perseroan dengan pemegang saham dan juga menetapkan pemegang saham secara pribadi bertanggung jawab atas kewajiban perseroan.
Persoalan pertanggungjawaban pemegang saham secara pribadi ini semula bersifat kontroversial sebab pemegang saham bertanggung jawab melebihi nilai saham yang diambilnya. Akan tetapi karena dalam situasi tertentu terjadi penyalahgunaan hukum, dimana perseroan sebenarnya didirikan untuk alter ego pemegang sahamnya, dan dipakai sebagai tameng untuk menghindari bertanggung jawaban. Namun pada dasarnya tidak ada kategori yang pasti kapan cadar perseroan dapat diterobos, tetapi pada umumnya terjadi jika pemegang saham melakukan tindakan-tindakan demi keuntungan sendiri dengan mempergunakan perseroan sebagai alat vehicle. Dalam hal demikian, pengadilan dapat menyingkap tabir itu dengan meminta pertanggung jawaban pribadi pemegang saham, ini yang disebut penerapan doktrin piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil.
Munir Fuady memberikan beberapa contoh yang mestinya terhadap diterapkannya doktrin piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil, yaitu adanya permodalan yang tidak layak, kedua, penggunaan dana perseroan secara pribadi, ketiga ketiadaan formalitas eksistensi perseroan, dan keempat, adanya unsur -unsur penipuan dengan cara menyalahgunaan badan hukum.
Penulisan ini menerangkan bahwa kedudukan pemegang saham minoritas dalam perseroan terbatas masih mendapatkan ketidakadilan dan kepastian hukum yang belum sepenuhnya transparan. Serta dalam penulisan ini untuk menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa pemegang saham minoritas dalam perseroan terbatas merupakan salah satu bagian yang penting dan tidak dapat diabaikan dalam menjalin prinsip, perjanjian, sampai kepastian hukum. Dengan adanya undang-undang yang telah tertulis tentang perseroan terbatas dan berkaitan dengan pemegang saham, diharapkan penduduk pemegang saham minoritas di Indonesia semakin kuat secara yuridis sehingga mampu mendorong terciptanya kepastian hukum secara transparan dalam pengelolaan perseroan. Dalam penulisan ini sebagai mahasiswa hukum, saya menyarankan perlu adanya sinergi antara peraturan hukum yang tegas dengan komitmen moral para pemegang saham dalam menjaga integritas dan stabilitas perseroan.
Daftar Pustaka
Nawardan, Theresia N.A., et al. “Perlindungan Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Perseroan Terbatas: Analisis Terhadap Implementasi Ketentuan UU Perseroan Terbatas dalam Keadilan dan Kepastian Hukum di Lingkungan Bisnis Modern”. Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik 05, no. 4, (2025): 3675, 3676.
Jasmine, Alifia; Yasmine, Azmi; Sharfina, Nurul Hulwanita; and Fathhurrohmah, Aisyah Hanifah (2024) “Initial Public Offering: Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dan Pengaruh Terhadap Kinerja Perusahaan,” Jurnal Hukum & Pembangunan: Vol. 54: No. 1, Article 8. DOI: 10.21143/jhp.vol 54.no1.1606
Rosasi, Muhammad A.Z. “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SAHAM MINORITAS DALAM TATA KELOLA PERUSAHAAN” . Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan: Vol. 15: No. 4 (2025), Prefix doi.org/10.3783/causa.v2i9.2461