Firza Mahfiroh | Manajer Kajian Internal FKPH 2025
PENDAHULUAN
Ketidakmampuan debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada para kreditor dalam dunia bisnis menuntut adanya solusi penyelesaian yang efisien, cepat, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu mekanisme hukum yang dapat ditempuh adalah melalui proses kepailitan. Dalam praktiknya, kepailitan lebih sering dimanfaatkan oleh kreditor sebagai sarana untuk menagih piutang, daripada sebagai instrumen untuk membantu debitor keluar dari situasi ketidakmampuan membayar utang. Hal ini menimbulkan adanya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya disebut UUK-PKPU). Dalam pelaksanaannya, kasus pailit seringkali didominasi oleh subjek hukum orang maupun badan hukum.
Dalam pelaksanaan usaha, kerjasama antar perusahaan kerap diwujudkan dalam bentuk perjanjian yang bersifat strategis, salah satunya adalah Joint Operation Agreement. Joint Operation merupakan bentuk kerja sama dimana dua atau lebih entitas hukum yang sepakat untuk melakukan kegiatan usaha tertentu secara bersama-sama tanpa membentuk badan hukum baru. Meskipun tidak menciptakan entitas baru, Joint Operation tetap memiliki kekuatan hukum dan konsekuensi yuridis bagi para pihak yang terlibat di dalamnya.
Persoalan muncul ketika salah satu pihak dalam kerja sama Joint Operation Agreement dinyatakan pailit. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai bagaimana kelanjutan pelaksanaan Joint Operation Agreement, serta bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak lain dalam kerja sama tersebut yang tidak dalam kondisi pailit. Mengingat Joint Operation Agreement tidak membentuk badan hukum tersendiri, maka konsekuensi kepailitan salah satu pihak dapat berdampak langsung pada kerja sama yang sedang berlangsung, termasuk pada aset dan tanggung jawab hukum yang mungkin tumpang tindih.
Permasalahan ini menjadi semakin kompleks karena UUK-PKPU tidak secara eksplisit mengatur kepailitan dalam konteks Joint Operation Agreement. Oleh karena itu, analisis mendalam diperlukan untuk memahami bagaimana seharusnya hukum memosisikan entitas kerja sama non-badan hukum seperti Joint Operation Agreement dalam konteks kepailitan.
ISI
- Regulasi Kepailitan dalam Hukum Nasional
Kepailitan dalam kerangka hukum nasional merupakan suatu mekanisme hukum untuk menyelesaikan masalah ketidakmampuan debitur dalam membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh kreditur. Istilah kepailitan merujuk pada sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU. Syarat agar suatu pihak dapat dinyatakan pailit adalah jika debitur memiliki minimal dua kreditur dan tidak membayar paling sedikit satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Permohonan pailit dapat diajukan oleh debitur sendiri, kreditur, kejaksaan untuk kepentingan umum, serta oleh lembaga otoritas seperti Bank Indonesia dan OJK tergantung pada jenis perusahaannya. Apabila permohonan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, maka seluruh harta debitur menjadi boedel pailit yang selanjutnya akan diurus dan dibereskan oleh seorang kurator. Dalam proses ini, pengadilan juga menunjuk hakim pengawas guna mengawasi jalannya kepailitan agar berjalan sesuai koridor hukum.
Sistem kepailitan di Indonesia tidak hanya bertujuan untuk melindungi hak-hak kreditur melalui proses pemberesan harta, tetapi juga memberi kesempatan bagi debitur untuk menyelamatkan usahanya melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). PKPU memberikan ruang bagi debitur dan kreditur untuk mencapai kesepakatan damai atau restrukturisasi utang sebelum masuk ke tahap pailit. Selain itu, sistem hukum juga mengakui adanya hak-hak khusus bagi kreditur separatis, seperti pemegang hak tanggungan, fidusia, atau hipotik, yang memiliki kedudukan istimewa dalam proses pemberesan.
Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan kepailitan di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu kritik yang sering muncul adalah adanya potensi penyalahgunaan permohonan pailit sebagai alat tekanan dalam perselisihan bisnis. Selain itu, proses pemberesan harta debitur pailit kerap kali berjalan lambat dan kurang transparan, yang dapat merugikan baik kreditur maupun debitur. Pengawasan terhadap kurator dan efektivitas putusan pengadilan juga menjadi aspek penting yang masih perlu diperbaiki dalam sistem ini.
Dengan demikian, pengaturan kepailitan dalam sistem hukum Indonesia telah memberikan kerangka hukum yang cukup komprehensif dalam mengatur proses penyelesaian utang piutang melalui jalur formal. Meski begitu, efektivitas pelaksanaannya sangat bergantung pada integritas para pihak, profesionalitas kurator, dan pengawasan yang ketat dari lembaga peradilan guna menjamin prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
- Kedudukan Hukum Joint Operation dalam Kepailitan
Pasal 1 angka 14 KMK 740/1989, mengatakan bahwa Kerjasama Operasi yang dikenal dengan nama Joint Operation adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk bersama-sama melakukan suatu kegiatan usaha guna mencapai suatu tujuan tertentu. Selain itu, Pasal 1 angka 56 PP 14/2021 berbunyi:
“Kerja Sama Operasi yang selanjutnya disingkat KSO adalah kerja sama usaha antar pelaku usaha yang masing-masing pihak mempunyai hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang jelas berdasarkan perjanjian tertulis.”.
Dalam hukum nasional. belum terdapat ketentuan perundang-undangan yang secara tegas mengatur pembentukan Joint Operation secara umum antara badan usaha dalam negeri dengan perusahaan asing. Meskipun demikian, praktik Joint Operation cukup lazim ditemui di sektor jasa konstruksi, yang pengaturannya telah diatur secara khusus melalui regulasi mengenai Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK), termasuk di antaranya BUJK asing. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, BUJK asing maupun pelaku usaha perseorangan asing yang hendak menjalankan kegiatan konstruksi di Indonesia diwajibkan mendirikan kantor perwakilan dan/atau membentuk badan usaha berbadan hukum Indonesia melalui skema kerja sama modal dengan BUJK nasional.
Apabila BUJK asing memilih mendirikan kantor perwakilan, maka terdapat sejumlah syarat tambahan yang harus dipenuhi, seperti memiliki kualifikasi besar, memperoleh perizinan usaha, membentuk Joint Operation dengan BUJK nasional yang juga memiliki kualifikasi besar, memprioritaskan tenaga kerja lokal dibandingkan tenaga kerja asing, serta menunjuk Warga Negara Indonesia sebagai pimpinan tertinggi kantor perwakilan. Selain itu, BUJK asing juga memiliki kewajiban untuk mengedepankan penggunaan teknologi dalam negeri, menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan melalui teknologi ramah lingkungan, serta mendukung proses alih teknologi dan pelestarian kearifan lokal.
Joint Operation tersebut harus dibentuk berdasarkan asas kesetaraan kualifikasi, kesetaraan dalam pelayanan, serta pembagian tanggung jawab bersama atau tanggung renteng. Hal ini ditegaskan dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa BUJK asing wajib membentuk Joint Operation dengan BUJK nasional berbentuk perseroan terbatas yang memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) dengan kualifikasi besar dan subklasifikasi yang sesuai dengan lingkup pekerjaan. Dalam pelaksanaan proyek konstruksi, sedikitnya 50% dari nilai pekerjaan wajib dilakukan di dalam negeri, dan minimal 30% dikerjakan oleh BUJK nasional mitra Joint Operation. Sedangkan untuk jasa konsultansi konstruksi, seluruh pekerjaan harus dilaksanakan di wilayah Indonesia, dengan setidaknya 50% dilakukan oleh mitra BUJK nasional. Jika BUJK asing memilih bentuk kerja sama modal, maka mekanisme pelaksanaannya mengikuti ketentuan yang berlaku mengenai penanaman modal asing dan kerja sama antar badan usaha. Dengan demikian, pembentukan Joint Operation dengan perusahaan asing sangat tergantung pada sektor usahanya. Dalam bidang konstruksi, kerja sama semacam ini diatur secara ketat untuk melindungi kepentingan nasional, mendorong alih teknologi, serta memastikan keterlibatan aktif badan usaha dan tenaga kerja dalam negeri. Oleh karena itu, penting untuk menelusuri regulasi sektoral yang berlaku guna memastikan legalitas dan kepatuhan dalam membentuk Joint Operation Dengan pihak asing.
Joint Operation dalam sistem hukum Indonesia merupakan bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih berdasarkan suatu perjanjian kerja sama operasi, tanpa membentuk entitas hukum baru. Dalam praktiknya, Joint Operation sering digunakan dalam proyek berskala besar, seperti konstruksi, pertambangan, atau energi. Meskipun Joint Operation dapat memiliki struktur manajemen, aset bersama, dan pembagian hasil, Joint Operation secara hukum tidak memiliki kepribadian hukum sendiri, sehingga tidak dapat menjadi subjek kepailitan. Namun, apabila salah satu anggota Joint Operation mengalami kepailitan, maka bagian atau kontribusi anggota tersebut dalam Joint Operation akan dianggap sebagai bagian dari boedel pailit dan dapat ditarik oleh kurator. Permasalahan muncul ketika Joint Operation melakukan transaksi atau perikatan dengan pihak ketiga, karena pihak ketiga sering kali mempersepsikan Joint Operation sebagai satu kesatuan usaha. Oleh karena itu, sangat penting untuk menelaah klausul dalam perjanjian Joint Operation, terutama mengenai tanggung jawab masing-masing pihak. Apabila dalam perjanjian disebutkan tanggung jawab secara tanggung renteng, maka pihak yang tidak pailit tetap dapat dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban Joint Operation. Dengan demikian, meskipun Joint Operation bukan subjek hukum yang dapat dipailitkan, implikasi hukum kepailitan tetap dapat berpengaruh terhadap kelangsungan kerja sama dan kewajiban keuangan dalam Joint Operation tersebut.
Kedudukan hukum Joint Operation sebagai badan usaha berbentuk Persekutuan Perdata. Dalam hal ini, para peserta Joint Operation yang juga merupakan sekutu di dalamnya memikul tanggung jawab secara tanggung renteng bahkan hingga ke harta pribadi mereka untuk melunasi seluruh hutang tersebut. Apabila terdapat lebih dari satu kreditur yang memiliki piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, para kreditor tersebut berhak untuk mengajukan permohonan pailit. Permasalahan kemudian timbul terkait siapa yang dapat diajukan sebagai debitor dalam proses kepailitan Joint Operation, mengingat Joint Operation hanya merupakan bentuk usaha yang tidak berbadan hukum, sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai subjek hukum. Dalam hal ini, definisi debitor diatur dalam Pasal 1 angka 3 UUK-PKPU, yang menyatakan bahwa:
“Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau karena undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”
Lebih lanjut, Pasal 1 angka 11 undang-undang yang sama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” mencakup orang perseorangan maupun badan hukum, termasuk korporasi.
Dengan mempertimbangkan kedudukan hukum Joint Operation dalam sistem hukum Indonesia, maka Joint Operation tidak dapat dijadikan subjek kepailitan karena tidak memiliki status sebagai badan hukum yang berdiri sendiri. Joint Operation hanya merupakan bentuk kerja sama kontraktual antara dua pihak atau lebih yang masing-masing tetap mempertahankan eksistensi hukumnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, apabila terdapat permasalahan keuangan yang berujung pada permohonan pailit, maka entitas yang dapat diajukan sebagai debitor dalam permohonan kepailitan bukanlah Joint Operation itu sendiri, melainkan para pihak atau sekutu yang membentuk Joint Operation tersebut, sesuai dengan kapasitas hukum dan tanggung jawab kontraktual yang dimilikinya dalam perjanjian kerja sama operasi.
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa Joint Operation dalam sistem hukum Indonesia merupakan bentuk kerja sama kontraktual antara dua pihak atau lebih tanpa membentuk badan hukum baru. Karakteristik Joint Operation yang tidak memiliki kepribadian hukum menyebabkan entitas ini tidak memenuhi syarat sebagai subjek hukum yang dapat diajukan dalam permohonan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam UUK-PKPU. Oleh karena itu, dalam hal terjadi wanprestasi atau ketidakmampuan membayar utang, yang dapat diajukan sebagai debitur dalam proses kepailitan bukanlah Joint Operation itu sendiri, melainkan para pihak atau sekutu yang membentuk Joint Operation, sesuai dengan kapasitas hukum dan tanggung jawab masing-masing sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja sama.
Selain itu, meskipun Joint Operation tidak dapat dipailitkan secara langsung, implikasi dari kepailitan salah satu pihak dalam Joint Operation tetap dapat memengaruhi kelangsungan kerja sama yang telah dibentuk. Aset atau kontribusi pihak yang pailit dalam Joint Operation akan menjadi bagian dari boedel pailit yang dikelola oleh kurator, dan kondisi ini dapat berdampak pada tanggung jawab hukum serta kelangsungan proyek bersama. Hal ini semakin kompleks apabila dalam perjanjian Joint Operation disepakati prinsip tanggung renteng, yang memungkinkan pihak yang tidak pailit tetap dimintai pertanggungjawaban oleh pihak ketiga.Ketiadaan pengaturan eksplisit dalam UUK-PKPU mengenai posisi hukum Joint Operation menimbulkan celah hukum yang dapat mengakibatkan ketidakpastian dan kerugian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk kreditur. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pihak yang membentuk Joint Operation untuk menyusun perjanjian secara hati-hati dan komprehensif, terutama dalam aspek pembagian tanggung jawab, penyelesaian sengketa, serta mitigasi risiko terhadap kemungkinan terjadinya kepailitan salah satu pihak. Di samping itu, diperlukan perumusan kebijakan dan regulasi lebih lanjut oleh pembuat undang-undang guna memberikan kepastian hukum terhadap eksistensi dan perlindungan hukum oint Operation dalam konteks kepailitan, sehingga mampu menunjang iklim usaha yang sehat dan berkeadilan.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pembentukan Usaha Patungan dan Bentuk Kerja Sama Operasi.
Addinda, Zukhruffiyah Rizqi, dan Hadi Shubhan. “Kepailitan Joint Operation dan Tanggung Jawab Para Peserta Joint Operation.”. Jurnal Hukum Bisnis, Universitas Airlangga, vol. 2, no. 1, April 2018, e-ISSN 2460-0105.