Rimba Melodyka | Staf Kajian FKPH 2025
Demonstrasi atau unjuk rasa adalah sebuah pernyataan protes kolektif, yang bertujuan untuk menyatakan pendapat, menolak kebijakan, atau meningkatkan kesadaran masyarakat tentang suatu masalah. Demonstrasi juga merupakan salah satu simbol bahwa negara dilaksanakan secara demokratis, dimana kebebasan untuk menyampaikan pendapat tertera dan dijamin dalam kerangka konstitusi. sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, danmengeluarkan pendapat.” Hak tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan demonstrasi kerap kali tidak berjalan sesuai dengan semangat konstitusi. Aparat kepolisian, yang seharusnya bertindak sebagai pelindung hak-hak sipil, justru sering kali hadir sebagai pihak yang menghalangi, bahkan melakukan tindakan represif terhadap massa aksi. Tidak sedikit kasus di mana demonstran menjadi korban kekerasan, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, hingga penyiksaan fisik maupun verbal.
Akar Permasalahan: Mengapa Tindakan Represif Terjadi?
Tindakan represif aparat dapat dipicu oleh dua kategori faktor: objektif dan subjektif.
- Faktor objektif meliputi situasi demonstrasi yang berubah tidak kondusif, tindakan anarkisme oleh segelintir peserta aksi, atau gangguan terhadap fasilitas umum.
- Faktor subjektif bersumber dari dalam institusi kepolisian itu sendiri, seperti:
- Budaya koersif warisan Orde Baru, di mana aparat diposisikan sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat.
- Minimnya pelatihan HAM dan teknik de-eskalasi konflik.
- Lemahnya mekanisme akuntabilitas dan pengawasan terhadap tindakan aparat di lapangan.
Terlepas daripada faktor-faktor di atas, kepolisian memiliki prosedur khusus yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang pedoman pengendalian massa. Tindakan polisi yang secara sepihak membubarkan aksi, melakukan pemukulan, atau penangkapan terhadap demonstran tanpa prosedur hukum yang sah, jelas merupakan pelanggaran terhadap Perkap itu sendiri, serta bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM. Lebih lanjut, tindakan represif tersebut juga dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, administratif, dan etika profesi.
Maka kemudian menjadi sebuah pertanyaan, perlindungan hukum apakah yang didapatkan terhadap tindak-tindak represif tersebut?
Pada Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998, demonstran berhak mengeluarkan pikiran secara bebas dan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam konteks hukum, perlindungan terhadap korban demonstrasi dapat dikategorikan ke dalam tiga tahap: pra-demonstrasi, saat demonstrasi, dan pasca-demonstrasi.
Perlindungan Hukum Pra-Demonstrasi
Sebelum demonstrasi dilaksanakan, hukum memberikan beberapa bentuk perlindungan kepada warga negara sebagai upaya pencegahan terjadinya pelanggaran hak:
- Hak untuk Mendapatkan Informasi
Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, setiap warga berhak mengetahui prosedur administratif seperti pemberitahuan kepada kepolisian, rute demonstrasi, serta estimasi jumlah peserta. Polisi wajib menerima surat pemberitahuan dan tidak boleh menolak pelaksanaan unjuk rasa yang sah secara hukum.
- Perlindungan dari Aparat
Aparat wajib menjamin keselamatan peserta dan tidak boleh melakukan pembatasan tanpa alasan hukum yang sah.
- Peran Pengacara dan Pengamat HAM
Kehadiran pengacara, pemantau independen, dan lembaga HAM (seperti KontraS, Komnas HAM) sebelum dan selama aksi menjadi bagian dari perlindungan hukum pra- demonstrasi. Mereka dapat mengawasi, memberi pendampingan hukum, dan membantu menjamin hak konstitusional massa aksi.
Perlindungan Hukum Saat Demonstrasi
Pada saat demonstrasi berlangsung, terdapat aturan hukum yang mengikat aparat dan menjamin hak peserta aksi agar tidak menjadi korban tindakan represif:
- Prosedur Pengamanan Massa Aksi
Polisi wajib merujuk pada Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Dalmas). Di dalamnya, ditegaskan bahwa pendekatan terhadap massa harus mengedepankan:
- Negosiasi dan dialog terlebih dahulu
- Penggunaan kekuatan sebagai langkah terakhir (ultimum remedium)
- Larangan membawa senjata api kecuali dalam kondisi tertentu
- Batasan Aparat agar Tidak Melakukan Kekerasan
Aparat tidak boleh bertindak represif atau menggunakan kekuatan secara berlebihan. Mereka terikat oleh prinsip proposionalitas, legalitas, dan akuntabilitas dalam setiap tindakan. Penggunaan gas air mata, pentungan, dan penangkapan harus sesuai prosedur dan bersifat sah, bukan reaktif atau emosional.
- Hak Demonstran
Peserta aksi berhak untuk:
- Tidak diprovokasi atau diintimidasi oleh aparat.
- Tidak difoto atau direkam tanpa izin, kecuali untuk kepentingan pengamanan terbatas dan sesuai SOP.
- Tidak menjadi objek kekerasan verbal maupun fisik, selama mereka tidak melakukan tindakan anarkis atau melawan hukum.
Perlindungan Hukum Pasca Demonstrasi
Jika dalam pelaksanaan aksi demonstrasi terjadi pelanggaran atau tindak kekerasan, korban berhak memperoleh berbagai bentuk perlindungan hukum:
- Mekanisme Pengaduan dan Pelaporan
Korban dapat:
- Melaporkan ke Divisi Propam Polri jika pelaku adalah aparat.
- Mengajukan laporan ke Komnas HAM untuk pelanggaran HAM.
- Mendapat bantuan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi masyarakat sipil.
- Ganti Rugi dan Rehabilitasi Nama Baik
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, korban kekerasan berhak atas pemulihan, ganti kerugian, dan rehabilitasi. Dalam kasus salah tangkap atau perusakan nama baik, korban bisa menuntut pemulihan hukum, baik perdata maupun pidana.
- Peran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
Bila korban mengalami kekerasan fisik berat, penyiksaan, atau intimidasi serius, mereka berhak mengajukan perlindungan ke LPSK. Lembaga ini dapat memberikan pendampingan hukum, perlindungan fisik, hingga pemulihan psikologis
Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap korban tindakan represif aparat dalam demonstrasi sudah memiliki landasan yang kuat dalam hukum nasional, mulai dari UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998, UU HAM, hingga Perkap No. 16 Tahun 2006. Namun, norma hukum saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan komitmen institusional untuk menegakkan hukum secara setara, termasuk terhadap aparat negara yang melanggar hukum.
Negara harus memastikan bahwa demonstrasi diperlakukan sebagai ekspresi sah dari partisipasi warga negara, bukan ancaman terhadap stabilitas. Perlindungan hukum terhadap demonstran bukan hanya bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, tetapi juga fondasi penting dalam menjaga demokrasi yang sehat dan berkeadilan.