Erlinda Ratnadewati
Staff Kajian
FKPH 2023
Kewenangan veto, yang sering kali dianggap sebagai senjata yang memiliki dua sisi tajam, telah menjadi subjek diskusi yang intens dalam wacana hukum internasional. Sebagai sebuah mekanisme yang memberi daya untuk memblokir keputusan bersama, kewenangan veto berperan vital dalam mempertahankan keseimbangan kekuasaan antar negara-negara berdaulat. Akan tetapi, di tengah berkembangnya globalisasi dan meningkatnya kebutuhan akan demokrasi, fungsi kewenangan veto sering kali diragukan. Artikel ini akan mengkaji sejarah dari kewenangan veto, menelaah penggunaannya dalam beragam situasi hukum, dan mengkritisi peranannya dalam struktur hukum global masa kini.
Menurut D. W Bowett, Hak Veto merupakan sebuah prerogatif yang digunakan untuk menolak keputusan, ketentuan, usulan, atau resolusi dari anggota lain dalam dewan keamanan. Sering kali, keputusan yang diambil oleh Dewan Keamanan dalam situasi mendesak ternyata bersifat politis. Di luar upaya mencari solusi untuk konflik atau ancaman terhadap perdamaian dan keamanan global yang sedang berlangsung, anggota permanen Dewan Keamanan kerap mengeksploitasi hak veto yang mereka miliki sebagai sarana untuk memajukan kepentingan nasional mereka sendiri (Bowett, 1992). Kewenangan veto yang dipegang oleh lima negara adidaya adalah kompensasi atas peran mereka dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional (tanggung jawab utama). Selama diskusi pembentukan Piagam PBB, juga dibahas tentang pemberian hak istimewa berupa kewenangan veto dan status keanggotaan permanen di Dewan Keamanan PBB kepada negara-negara yang memiliki kontribusi signifikan dalam menyelesaikan Perang Dunia II. Meskipun Piagam PBB tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa lima anggota permanen Dewan Keamanan PBB memiliki hak veto, namun interpretasi Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB secara implisit memberikan hak tersebut. Pasal ini menyatakan bahwa keputusan Dewan Keamanan tentang masalah non-prosedural harus disetujui oleh sembilan anggota termasuk semua anggota permanen, dengan catatan bahwa pihak yang terlibat dalam sengketa di bawah Bab VI dan Pasal 52 ayat (3) tidak diizinkan untuk memberikan suara (Teguh, 2021).
Sejak didirikannya Dewan Keamanan PBB pada tahun 1946, Hak Veto telah menjadi elemen kunci dalam operasional Dewan. Hak ini, kecuali untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Federasi Rusia, dianugerahkan kepada negara-negara yang keluar sebagai pemenang utama dalam Perang Dunia II – yaitu Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris. Penggunaan veto pertama kali dilakukan oleh Rusia pada tahun 1946, dan sejak itu, hak veto telah digunakan lebih dari 260 kali secara kolektif oleh kelima negara tersebut untuk menolak draf resolusi non-prosedural yang diajukan di Dewan Keamanan. Salah satu alasan utama pemberian hak veto adalah untuk menghindari PBB dari mengambil tindakan langsung terhadap anggota pendiri atau kepentingan mereka. Para pendiri Piagam berpendapat bahwa kelima negara permanen memiliki tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan mengalahkan penyerbu, sehingga mereka harus memiliki kontrol atas penggunaan kekuatan oleh PBB. Penting juga bagi negara-negara tersebut untuk tidak meninggalkan organisasi baru tersebut, seperti yang terjadi pada Liga Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu, hak veto memberikan jaminan kepada pemerintah negara-negara ini bahwa kepentingan mereka dalam hal perang dan damai tidak akan diabaikan. Namun, ketidakpopuleran hak veto mulai muncul tidak lama setelah itu. Pada tahun 1990-an, 185 negara anggota PBB menyatakan kritik terhadap hak veto sebagai sesuatu yang tidak adil, dan kritik tersebut tampaknya terus berlanjut hingga saat ini (Papalia, 2017).
Penerapan hak veto menimbulkan beragam pendapat yang memengaruhi dinamika politik dan hukum global. Di satu pihak, hak veto dianggap sebagai sarana untuk mencegah konflik, menjaga keseimbangan kekuatan, dan mempertahankan kepentingan negara. Namun, di pihak lain, hak veto bisa menghalangi tindakan bersama, menimbulkan dominasi oleh sejumlah negara, dan berisiko disalahgunakan untuk kepentingan politik. Dampaknya bisa beragam, mulai dari kebuntuan diplomatik hingga pertanyaan tentang kredibilitas institusi internasional seperti Dewan Keamanan PBB, yang sering kali menimbulkan diskusi tentang kebutuhan reformasi hukum internasional. Karena itu, penggunaan hak veto harus dipikirkan secara cermat dengan memperhatikan efeknya terhadap sistem hukum dan politik dunia, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Sebagai ilustrasi, Rusia menggunakan hak vetonya terhadap resolusi yang berkaitan dengan tindakan Suriah, yang tercatat dengan nomor S/2011/612. Pada 26 Januari 2011, demonstrasi besar terjadi di Suriah di mana para demonstran menyerukan pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, yang dianggap sebagai pemimpin otoriter, untuk mengakhiri lima dekade kepemimpinannya dan menuntut reformasi politik yang adil karena selama ini kekuasaan terpusat pada Partai Ba’ath. Demonstrasi yang mulanya bersifat lokal kemudian berkembang menjadi gerakan nasional. Pada puncaknya, tanggal 25 Maret 2021, pemerintah Suriah menggunakan kekerasan untuk meredam demonstrasi tersebut, yang berakibat pada kematian sekitar 5.000 orang menurut data PBB (Putri et al., 2014).
Meskipun hak veto dirancang sebagai sarana untuk memberikan Dewan Keamanan kekuatan yang cukup, dalam praktiknya, penggunaannya telah menyimpang dari tujuan awal. Penggunaan hak veto oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan, terutama oleh Amerika Serikat, telah menjadi tidak terbatas. Sebagai contoh, hak veto telah diaktifkan sebanyak 261 kali, dengan mayoritas (123 kali) oleh Uni Soviet/Rusia sampai pertengahan 1990-an. Mayoritas penggunaan tersebut (59 dan 43 kali) bertujuan untuk menghalangi keanggotaan baru dan pemilihan Sekretaris Jenderal. Dalam lima tahun terakhir, AS mencatat penggunaan veto terbanyak (10 kali). Ini semakin memperkuat pandangan bahwa konsep hak veto memberikan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB kedaulatan dan/atau kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Namun, konsep ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan kedaulatan.
Jadi, jika mayoritas anggota PBB berpendapat bahwa secara yuridis, keberadaan hak veto ini bertentangan atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara umum, seperti persamaan kedaulatan, maka pendapat tersebut adalah valid. Oleh karena itu, dapat dikatakan dengan tegas bahwa sebenarnya tidak ada justifikasi yuridis untuk penggunaan hak veto, karena di luar Piagam PBB juga tidak ada ketentuan eksplisit yang mengaturnya (Alfarizi et al., 2021).
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa hak veto tetap menjadi instrumen penting dalam politik dan hukum internasional. Meskipun memiliki potensi untuk menghambat aksi kolektif dan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, hak veto juga berperan vital dalam mencegah keputusan yang terburu-buru dan memastikan bahwa kepentingan negara-negara besar tidak diabaikan. Namun, relevansi hak veto saat ini sering kali dipertanyakan, terutama ketika digunakan untuk tujuan politik daripada prinsip hukum atau keadilan. Oleh karena itu, mungkin perlu dilakukan reformasi dalam penggunaannya untuk memastikan bahwa hak veto tidak menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan dan tetap relevan sebagai alat untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan dalam tatanan global.
Daftar Pustaka
Alfarizi, M., A’zham, K., Dafa Saputra, P., & al Fitrah, C. (2021). The Existence Of Veto Power In The United Nation’s Security Council On The Enforcement Of International Human Right: Advantages And Disadvantages.
Bowett, D. W. (1992). Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Papalia, G. (2017). A Critique of the Unqualified Veto Power. Perth International Law Journal, 2(55).
Putri, S. N., & dkk. (2014). Kebijakan Rusia Mengeluarkan Hak Veto Terhadap Rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB Tentang Konflik Sipil di Suriah. Jurnal Online Mahasiswa, 1(1), 2.
Teguh, M. A. (2021). Relevansi Hak Veto PBB Dengan Prinsip Kedaulatan Yang Dianut Oleh PBB . Jurnal Education and Development, 9(1).