Analisis Yuridis Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 Terhadap Kasus Tindak Kekerasan oleh Aparat Kepolisian (Studi Kasus Saka Tatal Putusan Nomor 16/Pid.Sus-Anak/2016/Pn Cbn)

Alfena Dorothea Saputra
Staff Kajian
FKPH 2023

Pasal 27 hingga pasal 29 pada konstitusi negara indonesia mengatur mengenai hak asasi manusia. Sebagai negara hukum indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak-hak dasar manusia sebagai warga negara Indonesia. Khususnya dalam pasal 28G menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dimata hukum dan setiap warga negara memiliki kebebasan untuk terbebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak memanusiakan manusia dan merendahkan derajat dan martabatnya sebagai manusia yang telah dianugerahi tuhan hak asasi manusia. Hukum yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang bersifat universal. Artinya hukum yang ada di Indonesia berlaku terhadap siapapun yang berada di Indonesia dan seluruh warga negara Indonesia tanpa adanya pengecualian (Hadi, 2022). 

Meskipun pelaku tindak pidana kejahatan hukum di Indonesia tetap mempertimbangkan dan menjunjung hak asasinya sebagai manusia yang telah dianugerahi hak asasi manusia yang dituangkan menjadi undang-undang dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Undang-Undang Nomor 48 tentang kekuasaan kehakiman dan peraturan-peraturan lainnya tidak terkecuali pasal 27 hingga pasal 29 didalam undang-undang dasar 1945 yang mengatur mengenai hak-hak dasar manusia (Trimarlina et al., 2019). Hal ini dilakukan tidak lain untuk melindungi terduga tersangka ataupun tersangka selama proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sehingga dapat mencapai keadilan yang sebaik-baiknya. 

Aparatur penegak hukum di Indonesia terdiri dari berbagai institusi dengan kewenangannya masing-masing, termasuk kepolisian di Republik Indonesia. Pasal 4 Undang-Undang kepolisian negara republik indonesia nomor 2 Tahun 2002 menyatakan adanya pembentukan kepolisian bertujuan untuk menciptakan dan menjaga keamanan negara dan ketertiban masyarakat, terselenggaranya hukum yang adil dan transparan, mengayomi masyarakat dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat serta menciptakan dan membina ketentraman masyarakat dengan memperhatikan dan menjaga nilai-nilai hak asasi manusia sebagai pedoman bagi masyarakat (Sudrajat, 2022). 

Selain pasal-pasal yang mengatur hak dasar manusia dalam konstisusi negara Indonesia seperti yang tercantum dalam pasal 28G terdapat sistem hukum khususnya hukum pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana nomor 8 Tahun 1981 menyatakan bahwa negara memberikan perlindungan dan jaminan hukum terhadap hak asasi manusia. Sehingga dalam hal ini jelas adanya bagi siapapun tidak terkecuali setiap warga negara Indonesia yang terlibat dan dipersangkakan dalam sebuah perkara diduga melakukan tindak pidana harus dianggap “innocent” atau tidak bersalah hingga adanya putusan pengadilan yang tetap dan mengikat menyatakan bahwa terduga tersangka merupakan pelaku dalam tindak pidana yang dipersangkakan kepada individu tersebut. Dalam hukum pidana hal ini disebut dengan asas praduga tak bersalah sehingga dalam asas ini seluruh pihak wajib menghormati dan melaksanakan asas presumption of innocence sebelum adanya putusan pasti yang diberikan oleh hukum. 

Membahas mengenai hak asasi manusia tentunya hal ini harus dipahami oleh setiap manusia yang ada di muka bumi tidak terkecuali seluruh aparatur negara termasuk kepolisian. Kepolisian merupakan institusi yang memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan dan mengayomi masyarakat sehingga hak asasi manusia perlu dijunjung tinggi dengan baik sehingga dalam proses pembuktian terduga tersangka pada tahapan penyelidikan dan penyidikan hingga penyerahan berkas perkara kepada pengadilan terkait berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan pelanggaran yang lain sehingga dapat dijadikan sebagai panutan dan contoh bagi masyarakat bagaimana menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Meskipun demikian tentunya akan ada saja oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam upaya menyelesaikan tugas dan kewenangannya. Praktek perilaku menyimpang dalam menegakan hukum di Indonesia yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian dan tidak ada dasarnya dalam KUHAPidana dalam melakukan penyidikan kepada terduga tersangka. 

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum kepolisian dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian lazim ditemukan untuk memperoleh alat bukti dengan cepat namun hasilnya belum tenntu akurat karena dalam hal ini terduga tersangka mendapatkan tekanan dan penyiksaan yang mana apabila sampai di titik dia tidak mampu menahan dan menerima tindak kekerasan tersebut menyebabkan terduga tersangka mengakui atau terpaksa mengakui perbuatan yang disangkakan (Prasetyo & Herawati, 2022). Tentunya apabila hal ini terjadi maka dapat ditinjau terdapat pelanggaran terhadap dua hak dasar hak asasi manusia yaitu hak untuk mendapatkan keadilan dan hak untuk terbebas dari kekerasan dan penyiksaan. Maka dari itu meskipun ada undang-undang yang melarang mengenai hak asasi manusia untuk terbebas dari penyiksaan masih sering terjadi indikasi tindak kekerasan ketika melakukan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini terjadi dalam putusan 16/Pid.Sus-Anak/2016/PN CBN. Maka dari itu dapat dipahami identifikasi masalah dari penelitian ini adalah bagaimana implementasi pasal 28G dalam penegakan hukum di Indonesia berdasarkan studi kasus Saka Tatal dalam putusan kasus nomor 16/Pid.sus-Anak/2016/PN CBN.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum secara normatif dengan pendekatan kualitatif (Sugiyono, 2013). Penggunaan pendekatan hukum normatif bertujuan untuk menciptakan dan membantu penerapan hukum di masyarakat melalui penelitian ini sehingga proses dalam menentukan aturan dan prinsip-prinsip hukum yang terdiri dari doktrin-doktrin hukum yang bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi (Sugiyono, 2013).

Kasus kematian Vina menjadi jembatan bagi aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap terduga pelaku pembunuhan vina yang terjadi pada 2016 silam. Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian diperoleh sembilan (9) orang terduga tersangka diantaranya adalah Jaya Suprianto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, Rivaldi Aditya Wardana dan satu terduga tersangka dibawah umur yang bernama Saka Tatal. Selain itu terdapat diduga tersangka mindmaster atau otak dari tindak pidana kejahatan ini adalah Pegi Setiawan. Hukuman yang diterima oleh tujuh (7) orang tersangka dijatuhi pidana seumur hidup sedangkan Saka Tatal dijatuhi hukuman 8 Tahun penjara dengan pertimbangan karena terduga merupakan anak dibawah umur. Saat ini Pegi Setiawan dinyatakan bebas tidak bersalah dan merupakan korban salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian melihat hal tersebut Saka Tatal selaku tersangka dalam kasus Vina mulai bersuara mengenai perlakuan yang diterima oleh Saka Tatal selama proses penyelidikan hingga menjalani hukuman penjara selama 3,8 Tahun mengakui bahwa diirinya mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari penganiayaan hingga paksaan untuk meminum urine (air kencing). Hal ini tentunya sudah melanggar hak asasi manusia dalam pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat oknum kepolisian dalam menangani perkara hukum yang ada. 

  1. Hak Asasi Manusia 
  2. Definisi Hak Asasi Manusia 

Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat kepada seseorang tanpa adanya diskriminasi baik dari agama, ras, etnis, latar belakang, jenis kelamin, orientasi seksual hingga status sosial di masyarakat (Salsabila, 2024). Undang-Undang hak asasi manusia nomor 39 tahun 1999 menjelaskan bahwa hak-hak dasar manusia tersebut diperoleh dari Tuhan Yang Maha Esa langsung kepada manusia sebagai anugerah atas cinta kasih Nya. Dengan demikian sebagai sesama manusia maka penting untuk mendukung, menjaga, menjunjung dan menghormati hak asasi manusia disamping peran negara dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia. 

Menurut Muladi (2002) Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang dan tanpa hak tersebut maka manusia tidak akan bisa hidup. Sedangkan menurut Kaligis (2009) Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat dan terlahir otomatis dalam diri masing-masing individu dan bukan hadir karena diciptakan oleh hukum atau aturan-aturan tertentu. Sehingga berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan hak asasi manusia merupakan sebuah anugerah berupa hak yang melekat pada masing-masing individu yang diberikan oleh Tuhan dan harus dijaga serta dihormati dan tidak boleh dilanggar. 

  1. Urgensi Hak Asasi Manusia 

Urgensi dari adanya hak asasi manusia merupakan kebutuhan yang krusial bagi kehidupan manusia karena dengan adanya hak asasi manusia maka masing-masing individu mendapatkan keamanan, dan jaminan bahwa dirinya memiliki hak yang sama dengan orang lain baik dari segi ekonomi hingga mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Dengan adanya hak asasi manusia tentunya hal ini dapat memutus rantai perbuatan sewenang-wenang yang bisa dilakukan seseorang yang merasa dirinya mempunyai kelebihan baik dari sisi harta dan posisi atau pengaruh untuk mengintimidasi hingga melakukan eksploitasi kepada yang lebih lemah. 

Bentuk keseriusan bangsa Indonesia dalam memandang hak asasi manusia dengan melakukan ratifikasi terhadap instrumen-instrumen hak asasi manusia seperti deklarasi universal hak asasi manusia, kovenan ekonomi, sosial dan budaya, konvensi mengenai penghapusan segala bentuk tindakan diskriminasi terhadap perempuan, konvensi terhadap anak-anak dan konvensi terhadap orang disabilitas untuk bisa hidup berdampingan dan tidak adanya perlakuan diskriminatif selama masih dalam jangkauan dan kuasa orang tersebut. 

Pelaksanaan amanat dan melakukan implementasi undang-undang nomor 26 Tahun 2000 mengenai pengadilan hak asasi manusia dan juga undang undang mengenai penghapusan diskriminasi yang dilakukan terhadap ras dan etnis tertentu sehingga dengan adanya pembentukan undang-undang tersebut dapat memberikan kepastian dan jaminan bagi bangsa Indonesia untuk bisa terbebas dari tindakan diskriminasi. 

  1. Pengaturan Hukum Dan Wewenang Kepolisian Dalam Menegakan Hukum 
  2. Wewenang dan Tugas Kepolisian dalam penegakan hukum

Amanat undang-undang sebagai sebuah perangkat negara yang memiliki tujuan dalam proses penciptaanya untuk memelihara ketertiban dan keharmonisan masyarakat dan menegakkan hukum dan melindungi serta sudah selayaknya mengayomi dan menjadi perlindungan utama bagi masyarakat (Rumayar, 2024) . Sehingga artinya dengan adanya penegakan hukum maka tujuan dari diciptakannya produk hukum merupakan bentuk dari menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat melalui institusi kepolisian. Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian yang isinya menyatakan tugas dan wewenang polri dan Pasal 14 (1) menjelaskan isi dari pasal 13 yang merupakan penjabaran secara rinci apa saja yang menjadi tugas polri dalam melayani masyarakat. Secara khusus pasal 14 (i) UU Polri  menyatakan bahwa tugas polri adalah sebagai lembaga negara yang melindungi keselamatan jiwa raga, harta kekayaan, masyarakat dan lingkungan hidup dari bencana dengan menjunjung hak asasi manusia. Sedangkan pada pasal 15 menjelaskan mengenai wewenang polri dalam melaksanakan tugas adalah menerima laporan atau aduan dari masyarakat, membantu menyelesaikan perselisihan, mengawasi masyarakat agar tidak terpecah belah, melakukan tindakan dan mencari keterangan barang bukti pada tempat perkara kejadian berlangsung. 

  1. Implementasi pasal 28G Dalam Penegakan Hukum Kasus Putusan Nomor 16/Pid.Sus-Anak/2016/PN CBN

Berdasarkan penegakan hukum pidana di Indonesia institusi kepolisian merupakan peran yang pertama kali bergerak dalam menangani proses penegakan hukum dalam sistem peradilan hukum pidana. Hal ini memberikan konsekuensi bagi institusi kepolisian untuk dapat terjun secara langsung kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang ada (Sobarnapraja, 2020). Sehingga untuk menyelesaikan perkara tersebut maka polisi harus mampu membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang terjadi diantaranya dengan mencari barang bukti, menganalisis tempat kejadian perkara, mencari tersangka, dan menetapkan tersangka. Sehingga akhir dari proses ini adalah persidangan di pengadilan yang akan membuktikan apakah bukti-bukti yang diajukan oleh kepolisian benar atau tidak yang kemudian hasil tersebut disebut dengan putusan bersalah atau tidak bersalah. 

Dalam hukum pidana terdapat satu asas yang dasar yang dikenal yaitu asas praduga tak bersalah, asas ini percaya bahwa setiap insan manusia merupakan manusia yang baik hingga ia terbukti dan ditetapkan bersalah menurut pengadilan (Khadafi et al., 2023). Hal ini menjadi bukti jelas bahwa negara sudah memikirkan secara matang bagaimana memenuhi dan menjaga hak-hak setiap orang untuk tidak mendapatkan tindakan yang diskriminatif meskipun individu tersebut merupakan seorang terduga tersangka bahkan merupakan tersangka itu sendiri. Maka dari itu, melalui adanya pelanggaran atas hak-hak dasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tercantum dalam konstitusi bangsa dirumuskan hal-hal yang memberikan jaminan perlindungan terhadap warga negara melalui perlindungan dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pejabat negara, pengadilan merupakan lembaga negara yang memiliki otoritas untuk memutus suatu perkara, memberikan akses terhadap sidang pengadilan yang bersifat umum, dan tersangka serta terdakwa diberikan jaminan untuk dapat melakukan pembelaan bagi dirinya sendiri secara penuh. 

Selain itu dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 mengatur mengenai implementasi dan standar hak asasi manusia POLRI terdapat bab-bab khusus yang membahas mengenai perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka pelaku tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal 35 yang mengatur mengenai asas praduga tak bersalah dan pasal 36 huruf a tentang hak-hak tersangka selama menjalani proses pemeriksaan dan penyidikan. Pada Perkap Nomor 14 Tahun 2011 menegenai kode etik profesi POLRI pasal 14 huruf e mengatur mengenai apa saja tugas penegakan hukum diantaranya “penyidik tidak diperkenankan untuk melakukan pemeriksaaan terhadap seseorang dengan cara memaksa dan menggunakan kekerasan untuk memperoleh pengakuan”. Akan tetapi pada kenyataannya dalam kasus Saka Tatal pada putusan nomor 16/Pid.Sus-Anak/2016/PN CBN, Sebelum ditetapkan menjadi terdakwa tersangka Saka Tatal dan teman-temannya mendapatkan perlakuan intimidasi dan kekerasan. Tindak pidana yang dirasakan oleh para tersangka mulai dari pemukulan, pelecehan moral secara verbal hingga paksaan untuk meminum air urine (kencing) agar para tersangka mau  mengakui sangkaan yang dituduhkan. 

Tentunya sebagaimana diketahui tindakan oknum polisi dalam menangani kasus ini merupakan tindakan yang tidak terpuji dan melanggar aturan. Tidak hanya melanggar kode etik profesi polri melainkan melanggar apa yang sudah di cantumkan pada konstitusi mengenai hak-hak dasar manusia sebagaimana pasal 28 G ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan “ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan hingga martabat dan kekayaan yang merupakan dibawah kekuasaannya serta setiap individu memiliki hak untuk merasa aman dan nyaman serta mendapatkan perlindungan dan bebas dari ketakutan untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu yang mana itu merupakan hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat dan bebas.” 

Selain itu ditekankan pada pasal 28G ayat 2 yang menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk terbebas dari perlakuan yang merendahkan dirinya sebagai manusia yang bermartabat serta bebas dari penyiksaan dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Berdasarkan kedua isi pasal 28G jelas bahwa pasal ini melindungi hak-hak setiap individu agar terbebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat sebagai manusia. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian merupakan tindakan yang melawan hukum dan perlu adanya sanksi yang diberikan untuk mampu menciptakan dan memberikan keadilan. Meskipun pada konteksnya, Saka Tatal merupakan terdakwa seharusnya dalam proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan dengan tidak menggunakan kekerasan dan intimidasi.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya maka tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian dalam upaya untuk memperoleh alat bukti dengan cepat merupakan tindakan yang salah karena telah melanggar prinsip dasar manusia yang utama, yaitu sebagaimana tercantum dalam konstitusi negara indonesia yang secara spesifik dicantumkan dalam pasal 28G yang menyatakan bahwa setiap insan manusia memiliki hak yang sama di mata hukum dan memiliki hak yang melekat pada dirinya untuk dapat terbebas dari penyiksaan (Khadafi et al., 2023). Sehingga seharusnya dalam hal ini telah terjadi kecacatan hukum dimana terduga tersangka mendapatkan kekerasan dan intimidasi  untuk mengakui perbuatan yang disangkakan kepolisian kepada terduga terdakwa. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan yang tidak mudah terlebih pada saat kejadian terduga tersangka merupakan anak yang masih di bawah umur dan dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya dengan berbagai tekanan dan penyiksaan. 

Akibat hukum yang seharusnya diberikan kepada oknum kepolisian yang menangani kasus Saka Tatal seharusnya mendapatkan keadilan dengan diberikan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya apabila tindak kekerasan yang diterima dan dialami oleh Saka Tatal terbukti. Sehingga jelas adanya oknum yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada pasal 28G dapat diberikan sanksi pelanggaran kode etik dengan hukuman disiplin yang paling tinggi yaitu diberhentikan ssecara tidak hormat. Hal ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi korban-korban oknum kepolisian yang melakukan kekerasan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Selain itu oknum polisi dapat diberikan hukuman pidana dan atau memberikan ganti rugi yang bisa dilakukan secara perdata kepada korban.


Daftar Pustaka

Buku

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta.

Syaharani, Riduan .(2010). Beberapa   Hal   Tentang Hukum  AcaraPidana. Bandung.  Alumni. 

Sitompul. (2019) Polisi dan Penangkapan. Bandung. Tarsito.  Hlm.7

Badan Pembinaan Hukum Polri. (2011). Standar Hak Asasi Manusia Untuk Penegak Hukum. POLRI.  

Yulihastin, Erma. (2008). Bekerja sebagai POLISI. Gelora Aksara Pratama. Jakarta

Sadjiyono. (2008). Etika   Profesi   Hukum   Suatu   Telaah Filosofis terhadap Konsep dan Implementasi   Kode   Etik   Profesi Polri. Laksbang   Mediatama: Yogyakarta. 

Jurnal

Trimarlina, K. D., Sujana, I. N., & Widiati, I. A. P. (2019). Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Pemeriksaan Dalam Proses Penyidikan. Jurnal Analogi Hukum, 1(3), Article 3. https://doi.org/10.22225/ah.1.3.2019.411-416

Sudrajat, S. A. (2022). Hak Asasi Manusia (HAM) Sebagai Bentuk Kebijakan Politik Dalam Pelaksanaan Perlindungan. Definisi: Jurnal Agama Dan Sosial Humaniora, 1(1), Article 1. https://doi.org/10.1557/djash.v1i1.16226

Prasetyo, D., & Herawati, R. (2022). Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Dalam Konteks Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Tersangka di Indonesia. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(3), 402–417. https://doi.org/10.14710/jphi.v4i3.402-417

Hadi, F. (2022). Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Wijaya Putra Law Review, 1(2), Article 2. https://doi.org/10.38156/wplr.v1i2.79

Rumayar, I. R. S. (2024). Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Gas Air Mata Dalam Penertiban Kerusushan Berdasarkan Prinsip Hak Asasi Manusia (Ham). Lex Privatum, 13(3), Article 3. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/54808

Salsabila, M. (2024). Tantangan Kontemporer Hak Asasi Manusia di Indonesia: Kasus-Kasus Diskriminasi dan Kekerasan yang Menggugah Kesadaran. Socius: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 1(6). https://doi.org/10.5281/zenodo.10476843

Khadafi, M., Erwinsyahbana, T., & Eddy, T. (2023). Tinjauan Kriminologi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Diduga Dilakukan Oleh Oknum Kepolisian Dalam Proses Penyidikan. 24(2). https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/3687239

Peraturan Perundang-undangan 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Peraturan Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 48 Tentang 2009 kekuasaan kehakiman

Postingan Lain