PHK Sebagai Strategi Ekonomi Perusahaan dalam Kerangka Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

Ahmad Ainil Afifi Asri | Staf Kajian FKPH 2025

Ketenagakerjaan dan Perburuhan merupakan terminologi yang dikenal di Indonesia untuk mendeskripsikan segala hal yang berkaitan atau mengatur perihal tenaga kerja atau buruh. Ketenagakerjaan sendiri memiliki makna yang lebih luas yakni untuk mendeskripsikan masa sebelum, sedang, dan sesudah kerja sementara perburuhan hanya mencakup masa kerja atau sedang kerja saja. Dari pengertian tersebut, dapat juga diketahui bahwa istilah tenaga kerja merujuk pada seseorang yang sudah memasuki siap kerja sedangkan buruh merujuk pada seseorang yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan upah. Dengan kata lain, perburuhan merupakan bagian dari ketenagakerjaan.

Pemutusan hubungan kerja yang selanjutnya disebut PHK menjadi fenomena yang marak terjadi belakangan di Indonesia, melansir data Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, tercatat 42.385 pekerja yang mengalami PHK sepanjang Januari hingga Juni 2025, angka tersebut naik 32,19% dari periode yang sama pada tahun lalu sebanyak 32.064 orang. Hubungan kerja sendiri adalah hubungan antara pemberi kerja atau pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang dalam hubungan tersebut mengandung unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja adalah hubungan yang diperatas, maksudnya adalah terdapat pihak yang berkuasa yakni pengusaha yang berhak untuk memberikan perintah-peritah yang wajib diikuti dan dilaksanakan oleh pekerja sebagai pihak yang lebih rendah.

Hubungan yang diperatas tersebut kemudian mendorong adanya dorongan bagi negara untuk berpihak dan ikut campur kepada pekerja sebagai pelindung dalam hubungan kerja antara  pengusaha atau perusahaan (selanjutnya disebut perusahaan) dan pekerja yang disebut sebagai socialisering process yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja serta menghindari kesewenang-wenang yang mungkin terjadi oleh perusahaan. Instrumen yang digunakan oleh negara tentunya adalah hukum, hal inilah yang melataberlakangi lahirnya hukum ketenagakerjaan dengan tujuan mengakomodir kebutuhan negara dalam upaya menciptakan hubungan kerja yang setara bagi para pihak.

Regulasi terkait ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan beberapa ketentuannya diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Cipta Kerja. Undang-Undang Ketenagakerjaan mendefinisikan PHK sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan perusahaan. Ketentuan mengenai PHK telah diatur secara rinci pada Pasal 150 sampai Pasal 172 BAB XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja. BAB tersebut telah mengatur mekanisme PHK, alasan boleh/ tidaknya PHK, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan, termasuk aturan yang memperbolehkan perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan kerugian, perubahan struktur, efisiensi, dan lain sebagainya.

Tingginya angka PHK di Indonesia pada tahun 2025 dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu secara internal maupun eksternal yang tidak bisa diprediksi seperti perang dagang yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Donal Trump, Kesalahan kebijakan ketenagakerjaan dan lain sebagainya yang semuanya berdampak pada perlambatan ekonomi nasional. Faktor-faktor tersebut menuntut perusahaan-perusahaan beradaptasi dengan kondisi yang ada guna menghindari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi yaitu kerugian secara terus menerus dan berujung pada perusahaan bangkrut dan pailit. Salah satu langkah yang sering ditempuh oleh perusahaan dalam keadaan mendesak seperti ini adalah mengurangi sumber daya atau pekerja yang ada melalui PHK. PHK memberikan kemungkinan bagi perusahaan untuk mengurangi pengeluaran atau tanggungan biaya terutama pada sektor-sektor yang bukan merupakan core dari perusahaan, artinya tanpa adanya pekerja pada sektor tersebut perusahaan masih dapat berjalan. Perspektif perusahaan dalam hubungan kerja tentunya merupakan perspektif ekonomi baik itu menganut pandangan neoclassical economic maupun newinstituional economic, keduanya berujung pada tujuan yang sama yakni keuntungan.

Efisiensi menjadi salah satu sebab yang halal bagi perusahaan untuk melakukan PHK, efisiensi sendiri adalah kemampuan perusahaan untuk menggunakan sumber daya yang serendah-rendahnya untuk mencapai tujuan yang semaksimal mungkin. Hal ini diatur pada Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. 

Merujuk pada ketentuan pasal tersebut, PHK merupakan Tindakan yang sah untuk dilakukan bagi perusahaan secara hukum, meski demikian PHK tidak semata-mata menghapuskan kewajiban perusahaan atas pekerja dan hak pekerja selama masa kerjanya. PHK wajib menjadi jalan terakhir jika tidak ditemukan solusi antara perusahaan dan pekerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa maksud dari PHK harus dirundingkan terlebih dahulu antara perusahaan dan pekerja dan jika tidak menemui titik terang, PHK hanya dapat dilakukan setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Namun, melalui Undang-Undang Cipta Kerja, ketentuan mengenai PHK hanya dapat dilakukan setelah mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dihapuskan, hal ini memberikan ruang bagi perusahaan untuk semakin mudah melakukan PHK terhadap pekerja tentunya dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur. Undang-Undang Cipta Kerja menjadi mimpi buruk bagi pekerja yang posisinya menjadi semakin lemah dan sewaktu-waktu dapat menjadi korban PHK dari perusahaan.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan realitas yang tidak dapat dihindari dalam dinamika ketenagakerjaan di Indonesia. Dari perspektif hukum, PHK telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan perubahan-perubahannya melalui Undang-Undang Cipta Kerja, yang memberikan legitimasi bagi perusahaan untuk melakukan PHK atas dasar efisiensi maupun alasan-alasan lain yang sah secara hukum. Namun, dari perspektif ekonomi, PHK dipandang sebagai strategi perusahaan untuk menekan biaya dan mempertahankan keberlangsungan usaha, meski hal tersebut seringkali berimplikasi pada kerentanan posisi pekerja yang semakin lemah. Perubahan aturan melalui Undang-Undang Cipta Kerja semakin mempermudah perusahaan dalam melakukan PHK, tetapi di sisi lain mengurangi perlindungan hukum bagi pekerja. Oleh karena itu, PHK harus diposisikan sebagai langkah terakhir yang diambil setelah seluruh upaya perundingan dan penyelesaian perselisihan ditempuh, sehingga dapat tercipta keseimbangan antara kepentingan perusahaan untuk bertahan dan hak pekerja untuk mendapatkan perlindungan yang adil.

Daftar Pustaka


Maswandi. “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di Pengadilan Hubungan Industrial.” Jurnal Administrasi Publik Vol. 5, No. 1 (Juli 2017): 38. Diakses 19 September 2025. doi: 10.31289/publika.v5i1.1203.

Yuliastuti, Ari, dan Emi Syarif. “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menggunakan Acte Van Dading.” Jurnal Ketenagakerjaan Vol. 16, No. 2 (Desember 2021): 88–102. Diakses 19 September 2025. doi: 10.47198/naker.v16i2.107.

Widiastini, Nindry Sulistya. Pengantar Hukum Perburuhan Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Yogyakarta: PT Kanisius, 2022.

Ismono, Joko. “Hubungan Kerja dalam Perspektif HAM, Ekonomi, dan Pembangunan.” Halu Oleo Law Review Vol. 2, No. 1 (Maret 2018): 354.

Mayangsari, Yashinta, dan Estik Hari Prastiwi. “Sistem Antrian Teller Bank Mandiri sebagai Upaya Meningkatkan Efisiensi Kecepatan Transaksi.” Jurnal Ekonomi & Bisnis Vol. 1, No. 1 (Maret 2016): 49–60.

Sari, Linda Ganetha, dan Narita Adityaningrum. “Hak-Hak Normatif Pekerja karena PHK dengan Alasan Efisiensi Sebelum dan Sesudah Undang-Undang tentang Cipta Kerja: Normative Rights of Workers Due to Laid off Efficiency Before and After Act on Job Creation.” Amicus Curiae Vol. 2, No. 1 (Januari 2025): 314–325.

Postingan Lain