Andrean Bagus | Staf Kajian FKPH 2025
Penjualan makanan berat maupun ringan dalam moda transportasi kereta api memberikan kontribusi signifikan terhadap fleksibilitas akses konsumsi penumpang selama perjalanan. Beberapa layanan kereta api menyediakan fasilitas berupa gerbong restoran yang menawarkan beragam pilihan makanan dan minuman, di mana penumpang dapat melakukan pemesanan serta menikmati sajian secara langsung di gerbong tersebut. Selain itu, PT Kereta Api Indonesia (Persero) juga menyediakan layanan alternatif untuk menjangkau kebutuhan konsumsi penumpang, melalui pramusaji yang melayani secara mobile di dalam gerbong maupun melalui sistem pemesanan daring menggunakan aplikasi KAI Access atau situs resmi perusahaan. Produk makanan dan minuman yang diperdagangkan dalam konteks ini merupakan objek pajak yang relevan dalam sistem perpajakan.
Dalam kerangka perpajakan daerah di Indonesia, salah satu instrumen pajak yang relevan adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). PBJT dikenakan atas pelayanan penyediaan makanan dan minuman melalui jasa boga, baik dikonsumsi di tempat penyediaan maupun di luar tempat tersebut. Meskipun telah terdapat ketentuan normatif mengenai pengenaan pajak ini, implementasinya dalam praktik masih menyisakan persoalan, khususnya dalam konteks konsumsi yang terjadi di moda transportasi antardaerah seperti kereta api.
Permasalahan utama yang mengemuka adalah mengenai yurisdiksi pemungutan PBJT atas konsumsi makanan oleh penumpang kereta api. Seringkali, pemesanan dilakukan terhadap penyedia jasa di dalam kereta dan konsumsi terjadi setelah kereta meninggalkan wilayah administrasi stasiun asal. Hal ini menimbulkan persoalan yuridis mengenai otoritas daerah mana yang berhak melakukan pemungutan apakah daerah tempat keberangkatan kereta, domisili penyedia jasa, atau wilayah terjadinya konsumsi. Kompleksitas meningkat karena aktivitas konsumsi berlangsung dalam konteks lintas wilayah yang dinamis, sehingga menimbulkan ambiguitas dalam penerapan asas teritorialitas pajak daerah. Ketidakjelasan ini tidak hanya berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antar pemerintah daerah, tetapi juga berdampak terhadap kepastian hukum bagi pelaku usaha serta efektivitas pemungutan pajak daerah secara keseluruhan.
Penerapan Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam konteks konsumsi makanan pada moda transportasi kereta api menimbulkan tantangan yuridis dalam menetapkan batas yurisdiksi kewenangan pemerintah daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), PBJT diklasifikasikan sebagai pajak daerah yang dikenakan atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu yang dilakukan di dalam wilayah administrasi suatu daerah. Namun demikian, dalam praktiknya, konsumsi makanan di kereta api tidak dapat secara pasti dikaitkan dengan satu entitas wilayah administratif, mengingat proses pelayanan berlangsung lintas daerah dimulai, dilaksanakan, dan diakhiri di lokasi yang berbeda-beda. Hal ini memunculkan permasalahan terkait otoritas fiskal: daerah manakah yang memiliki legitimasi hukum untuk memungut pajak tersebut apakah daerah asal keberangkatan kereta, lokasi produksi atau penyajian makanan, atau wilayah aktual tempat konsumsi terjadi?
Secara praktik, pemungutan PBJT oleh pemerintah daerah tempat keberangkatan kereta kerap dianggap sebagai pendekatan yang paling masuk akal, karena umumnya transaksi makanan dilakukan pada awal perjalanan, baik secara langsung maupun melalui platform digital. Namun, pendekatan ini belum memiliki legitimasi normatif yang eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, apabila pendekatan yang digunakan didasarkan pada lokasi konsumsi aktual, maka akan timbul kesulitan dalam mengidentifikasi titik konsumsi secara pasti karena kereta api melintasi berbagai wilayah administratif selama perjalanan. Alternatif lainnya, yakni menggunakan lokasi domisili penyedia jasa makanan sebagai dasar pemungutan, juga dinilai kurang memadai karena berpotensi mengabaikan hak fiskal daerah-daerah lain yang turut terlibat dalam transaksi dan layanan.
Ketiadaan pengaturan teknis sebagai turunan dari UU HKPD yang secara khusus mengatur mekanisme pemungutan PBJT dalam konteks layanan jasa boga pada moda transportasi antardaerah, khususnya kereta api, menciptakan kekosongan hukum (legal vacuum) yang menyulitkan pelaksanaan kebijakan fiskal secara efektif. Ketidakpastian ini berdampak langsung terhadap pemerintah daerah yang tidak memiliki landasan yuridis yang jelas dalam menjalankan kewenangannya, serta terhadap pelaku usaha yang tidak memperoleh kepastian dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Risiko yang muncul mencakup potensi pemungutan ganda antar daerah atau bahkan tidak adanya pemungutan sama sekali, yang pada akhirnya dapat merugikan pendapatan daerah dan memperbesar disparitas fiskal antar wilayah.
Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman teknis nasional atau peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang secara spesifik mengatur mekanisme pemungutan PBJT atas jasa boga yang disediakan dalam moda transportasi lintas wilayah. Formulasi kebijakan ini penting untuk menjamin kepastian hukum, mencegah terjadinya konflik kewenangan antar daerah, serta menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan dan proporsional bagi pelaku usaha maupun konsumen. Penegasan atas yurisdiksi fiskal dalam konteks transportasi yang bersifat dinamis menjadi tantangan tersendiri dalam sistem desentralisasi fiskal Indonesia yang terus berkembang.
Ketidakjelasan mekanisme pemungutan Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas konsumsi makanan dalam moda transportasi, khususnya kereta api, memunculkan berbagai implikasi yuridis dan administratif yang signifikan dan memerlukan perhatian serius dari pembuat kebijakan. Dari sisi yuridis, ketidakpastian mengenai otoritas yang sah dalam melakukan pemungutan pajak berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip legalitas dalam sistem perpajakan, yang menyatakan bahwa pajak hanya dapat dipungut berdasarkan ketentuan hukum yang jelas. Apabila suatu pemerintah daerah melakukan pemungutan PBJT atas objek yang berada di luar batas yurisdiksi teritorialnya, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai ultra vires (melampaui kewenangan hukum), sehingga berisiko menimbulkan gugatan hukum dari wajib pajak maupun pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Secara administratif, ketidakjelasan tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah yang dilintasi oleh moda transportasi. Dalam situasi tanpa regulasi yang eksplisit, setiap daerah cenderung memiliki insentif untuk mengklaim hak pemungutan, terutama demi meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini dapat mendorong terjadinya konflik fiskal antar daerah serta menurunkan efisiensi sistem perpajakan. Di sisi lain, pelaku usaha—khususnya penyedia jasa boga dalam layanan kereta api—menghadapi kesulitan dalam mengidentifikasi kewajiban perpajakan yang berlaku. Ketidakpastian ini berpotensi mendorong terjadinya penghindaran pajak, baik secara administratif maupun secara substantif, yang mungkin dilakukan secara sengaja atau karena kebingungan atas ketentuan hukum.
Implikasi lanjutan dari ketidakteraturan ini mencakup terganggunya iklim investasi serta penurunan kepastian hukum dalam sektor jasa boga yang beroperasi di moda transportasi antardaerah. Ketidakpastian mengenai beban pajak menjadi salah satu hambatan bagi pelaku usaha yang telah menghadapi tantangan operasional tersendiri. Di tingkat makro, hal ini berkontribusi pada potensi kehilangan penerimaan pajak daerah secara nasional, akibat tidak optimalnya pemungutan atas objek pajak. Ketimpangan fiskal antar wilayah juga berpotensi meningkat, khususnya apabila hanya daerah-daerah tertentu yang memiliki kapasitas administratif dan keberanian institusional untuk melakukan pemungutan secara aktif.
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan adanya formulasi kebijakan yang bersifat harmonis dan integratif antar tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, diharapkan dapat menerbitkan regulasi teknis atau pedoman implementatif yang secara eksplisit mengatur dasar hukum serta tata cara pemungutan PBJT atas jasa boga dalam moda transportasi lintas daerah. Regulasi ini dapat diimplementasikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau, setidaknya, Peraturan Menteri sebagai instrumen pelengkap terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Keberadaan pengaturan ini akan meningkatkan kepastian hukum, mencegah konflik kewenangan antar daerah, serta mendorong efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah di era mobilitas dan modernitas layanan publik.
Permasalahan terkait pengenaan Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) terhadap konsumsi makanan dalam moda transportasi kereta api mencerminkan kompleksitas penerapan asas legalitas dan prinsip kewenangan fiskal dalam kerangka sistem desentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiadaan regulasi khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) maupun dalam peraturan pelaksanaannya yang secara eksplisit mengatur mekanisme pemungutan PBJT atas objek pajak yang bersifat lintas wilayah seperti konsumsi makanan di kereta api menimbulkan ketidakpastian hukum dan administratif dalam pelaksanaannya. Hal ini menghadirkan pertanyaan krusial mengenai yurisdiksi pemungutan: apakah kewenangan berada pada pemerintah daerah tempat keberangkatan, lokasi konsumsi aktual, atau domisili penyedia jasa.
Secara normatif, ketidakjelasan tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap asas legalitas dalam perpajakan, yang mengharuskan seluruh tindakan pemungutan pajak dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang sah. Tindakan pemungutan oleh pemerintah daerah di luar wilayah yurisdiksi yang sah dapat dikategorikan sebagai ultra vires dan berisiko menimbulkan sengketa hukum. Dari perspektif administratif, ketidakpastian ini menyebabkan tumpang tindih klaim otoritas pemungutan antar daerah, membuka peluang terjadinya penghindaran pajak, serta menimbulkan kesulitan bagi pelaku usaha—khususnya penyedia jasa boga—dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara akurat dan sesuai aturan.
Permasalahan ini berdampak negatif terhadap efektivitas penerimaan pajak daerah dan berpotensi menciptakan ketimpangan fiskal antar wilayah. Daerah yang memiliki kapasitas kelembagaan dan administratif yang lebih kuat dapat lebih agresif dalam melakukan pemungutan, sementara daerah lain yang turut terkait dalam aktivitas ekonomi tersebut mungkin kehilangan hak fiskalnya. Oleh karena itu, urgensi pengaturan yang jelas dan seragam di tingkat nasional menjadi semakin penting dalam mendukung kepastian hukum, keadilan fiskal, dan optimalisasi penerimaan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Adrian Sutedi. Perpajakan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012.
Australian Taxation Office. GST Ruling GSTR 2000/10: Supply of Food and Drink on Aircraft, Trains and Ferries. Canberra: Commonwealth of Australia, 2019. Diakses dari: https://www.ato.gov.au
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Modul Pajak Daerah dalam UU HKPD. Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2022.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Paparan Sosialisasi UU HKPD: Implementasi Pajak Daerah Baru. Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2022.
European Commission. VAT Rules and Rates. Brussels: EU Publications, 2020. Diakses dari: https://ec.europa.eu
Fuady, Munir. Hukum Pajak dalam Teori dan Praktik. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.
Harahap, Fery. “Tantangan Implementasi Pajak Daerah dalam Layanan Digital dan Mobilitas.” Jurnal Hukum Keuangan Negara 5, no. 2 (2023): 112–128.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan Penjelasan Umum UU HKPD. Jakarta: Kemenkeu RI, 2022.
Nilamsari, Natalina. “Memahami Studi Dokumen dalam Penelitian Kualitatif.” Wacana, vol. XIII, no. 2, Juni 2014, hlm. 177-181.
OECD. Consumption Tax Trends 2016: VAT/GST and Excise Rates, Trends and Policy Issues. Paris: OECD Publishing, 2017.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 211/PMK.07/2022 tentang Indikator Tingkat Kinerja Daerah dan Petunjuk Teknis Umum Dana Alokasi Umum.
Simanjuntak, Maruli, dan M. Mukhlis. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 19World Bank. Indonesia Economic Prospects: Reforming Fiscal Policy for Better Results. Washington D.C.: World Bank Group, 2021.