RONA MENJELANG PEMILU 2024 KACAMATA HUKUM ATAS PUTUSAN PENUNDAAN PEMILU
Aprita Sari Staff Kajian FKPH 2023
Konstitusi yang hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia memandang prinsip demokrasi dengan kedaulatan yang diserahkan oleh rakyat dengan berdasar pada undang-undang seperti termuat dalam konstitusi yakni pada Pasal 22E UUD NRI 1945. Wujud dari hal tersebut tercermin dalam pesta demokrasi yakni ajang kebebasan rakyat untuk memilih wakil serta pemimpinnya yang akan digelar dalam Pemilu serentak pada Februari tahun 2024. Dalam panggung legitimasi kekuasaan yang diberikan oleh rakyat ke pemerintah, tidak akan menarik apabila tidak diwarnai dengan pertunjukan politik. Tahun 2023, kurang dari satu tahun penyelenggaraan Pemilu, kontes politik sudah dipertunjukkan, mulai dari money politic yang menjadi gaung bahwa Pemilu akan datang hingga hembusan akan kabar penundaan Pemilu sebagai resolusi agar tercapai kelanggengan oligarki tertentu. Kabar itu kian terlihat nyata dengan dikeluarkannya penetapan penundaan Pemilu dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst pada 2 Maret 2023.
Kejadian yang berujung putusan penundaan Pemilu ini dipantik atas kasus yang terjadi pada partai Rakyat Adil Makmur atau disingkat sebagai partai Prima tidak lolos verifikasi sebagai partai peserta Pemilu. Dalam memutuskan partai politik yang bisa bersaing dalam Pemilu, Komisi Pemilihan Umum menentukan beberapa persyaratan yang termuat dalam Pasal 9 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dalam proses seleksi tersebut, partai Rakyat Adil Makmur tidak memenuhi salah satu dari persyaratan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga memberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk tidak mencantumkan nama partai Rakyat Adil Makmur sebagai salah satu dari 17 peserta Pemilu melalui Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Kabupaten/Kota Tahun 2024. Sejak dikeluarkannya keputusan oleh KPU diatas, mempengaruhi partai Rakyat Adil Makmur sebagai partai yang berbadan hukum melalui surat edaran Nomor M.HH-AH.11.04-09, yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membawa perkara ini ke jalur hukum.
Sesuai yang diamanatkan oleh perundang-undangan, maka partai Rakyat Adil Makmur membawa perkara ini ke Badan Pengawas Pemilu dalam hal ini, Badan Pengawas Pemilu diamanatkan oleh Pasal 3 ayat (2) Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berbunyi ‘Badan Pengawas Pemilu menyelesaikan sengketa antara partai politik calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi dengan KPU, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu’. Namun, membawa perkara ini ke Badan Pengawas Pemilu bukan merupakan resolusi, karena partai Rakyat Adil Makmur belum mendapatkan rasa keadilan. Kemudian, perkara ini dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sesuai kewenangannya yang termuat dalam Pasal 470 ayat (2) Huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan bahwa sengketa proses Pemilu yang dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Pasal 173 Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Namun, lagi-lagi partai Rakyat Adil Makmur tidak mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Hal ini karena PTUN memiliki kewenangan dalam mengadili sengketa antara partai politik peserta Pemilu dan KPU. Namun, partai Rakyat Adil Makmur belum menjadi partai politik calon peserta Pemilu karena dinyatakan tidak melakukan verifikasi faktual.
Kebuntuan yang terlihat oleh masyarakat awam ternyata tidak memberikan pandangan sama dalam kacamata partai Rakyat Adil Makmur. Langkah hukum selanjutnya adalah membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ternyata, peradilan ini merupakan kabar bahagia bagi partai Rakyat Adil Makmur. Pengadilan Negeri Jakarta pusat menempatkan KPU sebagai tergugat atas perbuatan melawan hukum dengan tidak mematuhi Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 dengan tidak memberikan kesempatan kepada penggugat yang dalam posisi ini adalah partai Rakyat Adil Makmur untuk turut serta dalam pemerintahan, dan pada tanggal 2 Maret 2023 menjadi peristiwa yang ramai diperbincangkan atas putusan yang telah dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan memberikan sanksi kepada Komisi Pemilihan Umum yakni ganti rugi materiil sebesar Rp500.000.000 dan sanksi yang sangat mengguncang Indonesia sebagai negara demokrasi adalah dengan amar putusan yang menyatakan bahwa KPU tidak diperkenankan melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan Pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan dan 7 hari.
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta pusat tentu sangat mengundang perhatian dari banyak pihak hal ini dikarenakan berbagai hal diantaranya:
1. Sengketa yang terjadi antara KPU dan partai politik calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi bukan merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan/ atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidedaad) yang dengan jelas mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan dari peradilan tata usaha negara. Akan menjadi hal yang salah apabila hakim yang melekat padanya asas ius curia novit sama sekali tidak tahu akan hal tersebut.
2. Putusan yang dikeluarkan oleh hakim telah melanggar perundang-undangan khususnya konstitusi npriegara Republik Indonesia. Pasal 4 ayat (15) Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:215/KMA/SK/XII/2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim, hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dilihat dari putusan yang dijatuhkan hakim kepada KPU tentu hal ini sangatlah salah karena tidak sesuai dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan lima tahun sekali.
3. Putusan yang tidak sesuai. Dalam hukum perdata, sanksi yang dijatuhkan oleh hakim bersifat condemnatoir. Yakni sebuah putusan yang mengharuskan pihak yang melakukan wanprestasi untuk memenuhi kewajibannya. Dengan keluarnya putusan untuk menunda Pemilu, bukanlah sebuah hukuman yang mengindikasikan adanya prestasi yang wajib dipenuhi oleh KPU justru hal ini memiliki pengertian yang berbeda. Putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam rangka mengembalikan prestasi tergugat dalam kasus ini adalah KPU agar partai Rakyat Adil Makmur mendapatkan keuntungan dapat dilakukan dengan pemulihan hak hukum dari partai Rakyat Adil Makmur. Bukan seperti putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap KPU 2 Maret kemarin. Karena kedua belah pihak tidak diuntungkan dalam keputusan tersebut.
4. Putusan hakim hanya melibatkan pihak yang berperkara saja, hal ini sangat tidak sesuai dengan putusan PN Jakarta Selatan atas kasus KPU dan partai Rakyat Adil Makmur yang turut serta melibatkan seluruh masyarakat Indonesia sebagai warga negara yang akan melaksanakan pesta demokrasi di 2024 mendatang sebagai korban yang tergabung dalam imbas putusan PN Jakarta Pusat 2 Maret 2023.
Dalam proses Pemilu, tidak diperbolehkan adanya pihak yang menghalangi terselenggaranya proses demokrasi tersebut. Dengan tegas Pasal 517 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara dipidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp60.000.000. Meskipun amar putusan hakim merupakan keputusan yang sulit dielak, namun pada dasarnya Indonesia merupakan rechtstaat yang berdasarkan asas demokrasi. Konsekuen itulah yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kenyataan yang tidak dapat diingkari. Hukum tidak diciptakan hanya untuk dikesampingkan, tetapi sebagai jawaban atas permasalahan yang berorientasi pada celah kebatilan.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007, tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta. Mahkamah Agung Republik Indonesia.2007.
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2017.
Pengunguman Nomor: 4/TIK.02-Pu/05/2022, tentang Pembukaan Akses Sistem Informasi Partai Politik Peserta Pemilu 2024. Jakarta. Komisi Pemilihan Umum. 2022.
Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 14 Tahun 2013, tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jakarta. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia. 2013.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019, tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Jakarta. Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2019.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018, tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Komisi Pemilihan Umum. 2018.
Prof. Dr. Ni’matul Huda & M. Imam Nasef. Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. Kencana. Jakarta. 2017.
Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-AH.11.04-09. Jakarta. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2022.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota Tahun 2024. Jakarta. Komisi Pemilihan Umum. 2022.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta. Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2002.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jakarta. Presiden bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2017.