PUTUSAN PENUNDAAN PEMILU: JUDICIAL ACTIVISM ATAU JUDICIAL AUTHORITARIANISM?
Nibraska Aslam Direktur Kajian FKPH 2022
Beberapa hari belakangan publik dibuat geger dengan viralnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memutus penundaan pemilihan umum tahun 2024 agar dilaksanakan pada tahun 2025. Putusan dengan register Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut menuai kontroversi dari masyarakat luas terutama akademisi hukum karena amar putusan tersebut dengan tegas mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Putusan tersebut berawal karena salah satu partai politik pendaftar peserta Pemilu tahun 2024, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) mengajukan gugatan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat verifikasi administrasi partai politik peserta pemilu. Pengadilan memutus bahwa KPU dinilai telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang berakibat pada kerugian konstitusional Penggugat sehingga Pengadilan memutus pelaksanaan pemilu harus diulang dari tahap awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.
Dari segi perspektif hukum, putusan pengadilan mendapatkan legitimasi asas “res judicata pro veritate habeteur” yang artinya putusan harus dianggap benar meskipun dalam pertimbangan hukumnya terdapat fakta materiil maupun penerapan hukum positif yang keliru sampai dikoreksi atau ditinjau kembali oleh pengadilan yang lebih tinggi sehingga pemerintah tidak bisa begitu saja mengabaikan putusan ini meski putusan tersebut keliru. Kesalahan sebuah putusan harus dikoreksi oleh putusan pengadilan lain yang lebih tinggi, dalam hal ini Pengadilan Tinggi.
Apabila melihat perdebatan yang muncul akibat putusan ini, sesungguhnya menarik jika dilihat dari perspektif hukum terutama eksistensi lembaga yudisial dalam sebuah negara hukum. Lembaga yudisial merupakan salah satu cabang kekuasaan negara yang bersifat independen dan imparsial terhadap cabang kekuasaan lain, dalam hal ini eksekutif dan legislatif. Prinsip independen dan imparsial yang ditempelkan menjadikan lembaga ini memiliki kebebasan dalam menciptakan hukum (judge-made-law) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5[1] jo. Pasal 10[2] UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim sangat otonom untuk menggali nilai-nilai keadilan dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini penting sebab sistem hukum Indonesia saat ini telah mengenal asas curia novit yang berarti hakim dianggap tahu akan segala hukumnya sehingga tidak dapat menolak perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas.
Kebebasan yang dimiliki hakim inilah yang kemudian menjadi diskursus hangat konsep Judicial Activism vs. Judicial Restraint. Menurut Robert Posner, Judicial Activism merupakan penggunaan kekuasaan yustisial untuk menguji kebijakan yang dilakukan oleh cabang kekuasaan non yustisial.[3] Pandangan yang dianut dalam aliran Judicial Activism adalah penolakan dimana hakim tunduk pada gagasan-gagasan stagnan yang terdapat dalam aturan tertulis karena dianggap tidak mampu memberikan nilai keadilan yang progresif. Sedangkan di sisi lain, Judicial Restraint dimaknai sebagai sikap hakim yang tunduk dan patuh pada aturan tertulis atau setidak-tidaknya berupaya untuk menolak membatalkan kebijakan publik yang dihasilkan dari lembaga kekuasaan lain.[4] Apabila ditarik dalam konteks kajian hukum Indonesia, perdebatan kedua konsep ini menyerupai perdebatan aliran positivisme dan progresivisme.
Meski demikian, penerapan konsep Judicial Activism ini tidak luput kritik dari banyak ahli karena dianggap telah melampau jauh kewenangannya dan berubah menjadi “super-legislator” atau “judicial authoritarianism”. Hal ini disebabkan konsep ini dianggap bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang menempatkan kekuasaan pembentukan hukum adalah milik legislatif dan eksekutif. Penciptaan hukum melalui perundang-undangan merupakan representasi dari kedaulatan rakyat sehingga apabila lembaga yudisial membatalkan kebijakan tersebut dianggap bertentangan dengan proses demokrasi. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, dalam artikel ini penulis tertarik untuk mengkaji kedudukan Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst apakah merupakan cerminan dari Judicial Activism atau bentuk kesewenang-wenangan dari hakim.
A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
Putusan merupakan suatu produk hukum yang penting untuk melihat dan mengamati sejauh mana peristiwa konkret yang menjadi sengketa para pihak dikonstatir menjadi peristiwa hukum dan hukum apa yang digunakan hakim untuk menyelesaikan sengketa tersebut.[5] Putusan harus memiliki pertimbangan hakim (ratio decidendi) untuk mengetahui legal reasoning atas fakta-fakta persidangan dan analisis hukum yang diterapkan terhadap peristiwa tersebut.[6]
Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst pada intinya mengonstatir bahwa peristiwa yang terjadi adalah Partai Rakyat Adil Makmur sebagai salah satu partai politik pendaftar peserta pemilihan umum merasa dirugikan atas perbuatan melawan hukum Tergugat, Komisi Pemilihan Umum karena terjadi kondisi error pada Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL), disebabkan faktor kualitas alat yang digunakan dan/atau faktor luar alat/prasarana itu sendiri. Hal ini membuat Penggugat mengalami kesulitan dalam menyampaikan perbaikan data verifikasi administrasi partai politik ke dalam SIPOL tersebut dan tanpa adanya toleransi atas apa yang terjadi, Tergugat menetapkan status Penggugat Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Oleh karena itu Penggugat menyatakan tindakan Tergugat bertentangan dengan Pasal 1365 KUHPer yang mengatur tentang Perbuatan Melawan Hukum berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Penggugat juga mengajukan 7 (tujuh) poin tuntutan kepada Majelis Hakim, tuntutan tersebut antara lain:
1. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;
3. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juga rupiah) kepada Penggugat;
5. Menghukum Tergugat untuk tidak bisa melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp. 410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah).
Dalam lapangan ilmu pengetahuan hukum perdata, syarat-syarat unsur yang harus terpenuhi agar tindakan dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum antara lain:[7]
a. Harus ada perbuatan
b. Perbuatan itu harus melawan hukum. Awalnya dalam Arrest Jufrouw Zutphen, hukum ditafsirkan secara sempit, yaitu hanya undang-undang sehingga disebut onwetmatigedaad. Namun sejak adanya Arrest Lindenbaum-Cohen tahun 1919, penafsiran terhadap hukum diperluas menjadi tidak hanya melawan hukum secara tertulis melainkan mencakup hukum tidak tertulis, seperti kesusilaan, kepatutan sehingga disebut onrechtmatigedaad.[8]
c. Ada kerugian.
d. Ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara perbuatan itu dengan kerugian.
e. Adanya kesalahan (schuld) yang menunjukkan bahwa tergugat bertanggungjawab atas perbuatannya.
Dari unsur-unsur di atas, Majelis Hakim kemudian membuktikan masing-masing unsur tersebut. Pertama, unsur perbuatan telah terbukti dengan adanya perbuatan KPU yang tidak menaati Putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 yang pada intinya memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk melakukan perbaikan data verifikasi administrasi partai politik. Namun KPU tidak melaksanakan dengan sepenuhnya putusan tersebut dengan membiarkan terjadinya error pada SIPOL sehingga Penggugat tidak dapat menginput data perbaikan ke dalam SIPOL. Akibat dari hal tersebut, Tergugat mengeluarkan Berita Acara Nomor 275/PL.01.1-BA/05/2022 yang menetapkan TMS terhadap status kepesertaan Penggugat. Kedua, unsur melawan hukum yang dibuktikan dengan perbuatan Tergugat melanggar Pasal 44 jo. Pasal 46 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Pendaftaran Pada Peserta Pemilu yang mengatur Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi oleh Komisi Pemilihan Umum dan Penyampaian Dokumen Persyaratan Perbaikan. Ketiga, unsur kerugian yang dibuktikan dengan mengutip Putusan Bawaslu Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 yang menyebutkan hak konstitusional Penggugat sebagaimana telah dijamin dalam perundang-undangan dan perbuatan Tergugat telah nyata menimbulkan kerugian konstitusional Penggugat.
Keempat, unsur hubungan sebab-akibat yang tidak dijelaskan dalam putusan tersebut. Dalam lapangan ilmu pengetahuan, hubungan kausal dapat dijelaskan melalui tiga teori, yaitu teori conditio sine qua non, teori adequat, dan teori individualisir. Menurut teori conditio sine qua non, suatu hal adalah sebab dari akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan bahasa lain, conditio sine qua non merupakan teori “tidak ada asap bila tidak ada api”.[9] Teori adequat menyatakan bahwa suatu hal dapat dikatakan sebagai sebab dari akibat apabila menurut pandangan umum hal tersebut memang sebab dari terjadinya akibat.[10] Teori individualisir menyatakan bahwa suatu hal dapat dikatakan sebagai sebab dari akibat apabila dari beberapa sebab yang memungkinkan yang dilihat adalah sebab yang paling mendekati.[11]
Kelima, unsur kesalahan dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah KPU selaku subjek hukum yang memiliki dan mengendalikan SIPOL sehingga kerugian apapun yang disebabkan oleh kerusakan SIPOL, KPU bertanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut. Unsur kesalahan dalam hukum perdata berbeda dengan teori kesalahan dalam hukum pidana, sehingga untuk membuktikan hal tersebut dan seberapa besar kadar kesalahan pada subjek hukum tergantung sepenuhnya pada keyakinan hakim.[12]
B. Kedudukan Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst Dalam Kerangka Judicial Activism vs. Judicial Authoritarianism
Apabila dilihat putusan ini pada awalnya memang murni sengketa perdata biasa yang hanya melibatkan Penggugat dengan Tergugat, namun yang menjadi permasalahan adalah pada Petitum poin 5 yang mana Penggugat meminta untuk tidak melanjutkan sisa tahapan Pemilu dan mengulang Pemilu dari awal lagi.
Pemilu merupakan agenda 5 (lima) tahun sekali yang diadakan untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota.[13] Khusus untuk Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih memiliki masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.[14] Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang mengabulkan petitum tersebut tentu akan berakibat hukum pada penundaan pemilu. Apabila pemilu ditunda, tentu akan berakibat jangka panjang dengan adanya krisis konstitusional dan krisis legitimasi pejabat publik tersebut karena masa jabatannya telah habis.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) merupakan peradilan tingkat pertama yang kompetensi absolutnya secara tegas diatur dalam Pasal 50 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyatakan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Dalam putusannya, PN Jakpus hanya menyinggung secara singkat alasan dikabulkannya petitum tersebut sebagai berikut:[15]
“… untuk memulihkan serta terciptanya keadaan yang adil serta melindungi agar sedini mungkin tidak terjadi kejadian-kejadian lain akibat kesalahan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakprofesionalan dan ketidakadilan oleh Tergugat dengan memperhitungkan keadaan yang terjadi masih berada pada awal-mula tahapan Pemilu, sehingga Tergugat diperintahkan untuk tidak melaksanakan sisa Tahapan Pemilihan Umum Tahun 2024 selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari sejak putusan ini diucapkan dan kemudian melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal untuk selama lebih 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari, dengan demikian petitum nomor 5 ini juga akan dikabulkan dengan perbaikan sebagaimana yang tercantum dalam amar nantinya;”
Pemilihan Umum merupakan ruang lingkup pelaksanaan ketatanegaraan dan berada di domain hukum publik sebagai wujud pelaksanaan nilai-nilai demokrasi konstitusional yang berkedaulatan rakyat.[16] Kedaulatan rakyat berdasarkan demokrasi perwakilan disalurkan dengan menempatkan primus inter pares melaui pemilihan umum yang diikuti oleh Partai Politik yang berperan sebagai sarana komunikasi politik (political communication), sosialisasi politik (political socialization), sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan pengatur konflik (conflict management).[17]
Sistem hukum Indonesia memang memberikan kebebasan bagi lembaga yudisial untuk mencari dan menggali hukum yang selaras dengan rasa keadilan masyarakat. Kebebasan tersebut membolehkan hakim untuk berperan sebagai ‘activist judge’ dan boleh untuk tidak tunduk pada aturan-aturan tertulis sebagaimana telah disinggung konsep Judicial Activism di atas. Namun bukan berarti kebebasan tersebut diartikan tanpa batas dan tanpa pertanggungjawaban. Kekuasaan kehakiman pada hakikatnya merupakan kekuasaan yang apabila dibiarkan tanpa batasan akan menimbulkan kesewenang-wenangan (power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely).[18] Batasan terhadap kebebasan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sepanjang masih sesuai dengan koridor negara hukum dengan menjaga prinsip independesi dan imparsialitas peradilan.
Penemuan hukum merupakan instrumen lembaga yudisial untuk menggali hukum apa yang tepat diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Penemuan hukum selalu melibatkan metode penafsiran hukum dan penggunaan berbagai macam sumber hukum. Judicial Activism harus dibatasi sepanjang menggunakan metode penafsiran hukum. Semua aparat hukum termasuk ilmuwan hukum tidak lepas dari penemuan hukum. Akan tetapi, penemuan hukum oleh hakim yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai sebuah putusan. Sedangkan penemuan hukum oleh ilmuwan hukum menghasilkan doktrin hukum.[19]
Ada berbagai macam metode penafsiran hukum, meliputi metode interpretasi dan metode argumentasi hukum. Beberapa ahli berpendapat berbeda terkait jenis-jenis metode interpretasi. Menurut Sudikno,[20] terdapat 8 (delapan) jenis metode interpretasi hukum seperti interpretasi gramatikal, sistematis, sosiologis, historis, futuristis, restriktif, ekstensif, dan komparatif. Selain metode interpretasi juga ada metode argumentasi yang terdiri dari analogi, a contrario, dan penyempitan hukum.[21] Selain itu, penemuan hukum juga melibatkan penggunaan sumber hukum baik materiil, maupun formiil. Sumber hukum formiil tersebut terdiri dari undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian, dan doktrin para ahli.[22]
Dari putusan tersebut, alasan yang mendasari dikabulkannya penundaan pemilu sangat tidak logis dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kalaupun hakim menggunakan penafsiran hukum dan pengadilan negeri mempunyai wewenang untuk mengabulkannya tentu akan menimbulkan sengketa kompetensi absolut peradilan umum dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu kewenangan MK adalah memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan kewenangan yang dimiliki tersebut, bisa saja MK menguji UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau UU lain yang berkaitan dengan pemilu dan memutuskan penundaan pemilu. Kewenangan MK tersebut menunjukkan bahwa hanya MK yang berwenang untuk menunda pemilu karena peran MK adalah sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi (the guardian of the constitution and democracy). Artinya, yurisprudensi yang dihasilkan oleh pengadilan negeri tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Berdasarkan uraian analisis di atas, ketidakjelasan dan ambiguitas pertimbangan hukum terutama berkaitan dengan petitum poin 5 (lima) menjelaskan bahwa putusan tersebut merupakan cerminan dari kesewenang-wenangan kekuasaan kehakiman (judicial authoritarianism). Tidak ada penemuan hukum maupun sumber hukum yang digunakan untuk menjustifikasi peradilan umum berwenang dalam memutus penundaan pemilu.
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst merupakan putusan sengketa perdata biasa yang melibatkan Partai PRIMA sebagai Penggugat dan KPU sebagai Tergugat. Selain itu, hakim seharusnya menyatakan bahwa petitum dikabulkan sebagian dengan mengecualikan petitum poin 5 (lima) karena bukan merupakan kompetensi absolut yang dimiliki peradilan umum. Putusan yang mengabulkan penundaan pemilu tersebut sangat tidak logis dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan hanya menunjukkan kesewenang-wenangan lembaga peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
ADDIN Mendeley
Bibliography CSL_BIBLIOGRAPHY Airlangga, Shandi Patria. “Hakikat Penguasa Dalam Negara Hukum Demokratis.” Jurnal Cepalo 3, no. 1 (2019): 1–10.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Ilmu Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis). Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002.
Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti 70 Tahun. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008.
Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015.
Manan, Abdul. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama.” Jurnal Hukum dan Peradilan 2, no. 2 (2013): 189.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010.
Mertokusumo, Sudikno, and Adriaan Pitlo. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2020.
Mochtar, Zainal Arifin. Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi Dan Diskursus Judicial Activism Vs. Judicial Restraint. Jakarta: Rajawali Pers, 2021.
Syahrani, Riduan. Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1992.
[1] Pasal 5 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
[2] Pasal 10 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
[3] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Mochtar”,”given”:”Zainal
Arifin”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2021″]]},”publisher”:”Rajawali
Pers”,”publisher-place”:”Jakarta”,”title”:”Kekuasaan
Kehakiman: Mahkamah Konstitusi dan Diskursus Judicial Activism Vs. Judicial
Restraint”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=5d675077-b8d2-493f-91a7-e079ce8c69bc”]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Zainal
Arifin Mochtar, <i>Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi Dan Diskursus
Judicial Activism Vs. Judicial Restraint</i> (Jakarta: Rajawali Pers,
2021).”,”manualFormatting”:”Zainal Arifin Mochtar,
Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi Dan Diskursus Judicial Activism Vs.
Judicial Restraint (Jakarta: Rajawali Pers, 2021), hlm.
106.”,”plainTextFormattedCitation”:”Zainal Arifin Mochtar,
Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi Dan Diskursus Judicial Activism Vs.
Judicial Restraint (Jakarta: Rajawali Pers,
2021).”,”previouslyFormattedCitation”:”Zainal Arifin
Mochtar, <i>Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi Dan Diskursus
Judicial Activism Vs. Judicial Restraint</i> (Jakarta: Rajawali Pers,
2021).”},”properties”:{“noteIndex”:3},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Zainal Arifin Mochtar, Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi Dan Diskursus Judicial Activism Vs. Judicial Restraint (Jakarta: Rajawali Pers, 2021), hlm. 106.
[4] ADDIN CSL_CITATION
{“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Mochtar”,”given”:”Zainal
Arifin”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2021″]]},”publisher”:”Rajawali
Pers”,”publisher-place”:”Jakarta”,”title”:”Kekuasaan
Kehakiman: Mahkamah Konstitusi dan Diskursus Judicial Activism Vs. Judicial
Restraint”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=5d675077-b8d2-493f-91a7-e079ce8c69bc”]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Ibid.”,”manualFormatting”:”Ibid,
hlm.
90.”,”plainTextFormattedCitation”:”Ibid.”,”previouslyFormattedCitation”:”Ibid.”},”properties”:{“noteIndex”:4},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Ibid, hlm. 90.
[5] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Mertokusumo”,”given”:”Sudikno”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2010″]]},”publisher”:”Universitas
Atma Jaya
Yogyakarta”,”publisher-place”:”Yogyakarta”,”title”:”Hukum
Acara Perdata
Indonesia”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=e885864d-df13-41db-bafe-7066c1ab8ac4″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Sudikno
Mertokusumo, <i>Hukum Acara Perdata Indonesia</i> (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2010).”,”manualFormatting”:”Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010)
hlm. .”,”plainTextFormattedCitation”:”Sudikno Mertokusumo,
Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2010).”,”previouslyFormattedCitation”:”Sudikno Mertokusumo,
<i>Hukum Acara Perdata Indonesia</i> (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, 2010).”},”properties”:{“noteIndex”:5},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010) hlm. .
[6] ADDIN CSL_CITATION
{“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“DOI”:”10.25216/jhp.2.2.2013.189-202″,”ISSN”:”2303-3274″,”abstract”:”The
court essentially banned refused to examine, decide a case filed with no legal
argument or less clear, but obliged to examine and judge \”. Provisions of
this chapter gives the sense that as major organs Court judge and as executor
of judicial power is obligatory for the Judge to find the law in a case despite
legal provisions do not exist or are less clear. Law No. 48 of 2009 Article 5
(1) explains that \”Judges shall multiply, follow and understand the
values of law and justice that lives within the community. the judges in the
religious court in making decisions on matters that should be examined and
judged using the technique of taking decisions which include Analytical
Techniques, Technical equatable, and techniques syllogism. Keywords:
Rechtsvinding, Justice, Law Events, Religious
Courts.”,”author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Manan”,”given”:”Abdul”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”container-title”:”Jurnal
Hukum dan
Peradilan”,”id”:”ITEM-1″,”issue”:”2″,”issued”:{“date-parts”:[[“2013″]]},”page”:”189″,”title”:”Penemuan
Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan
Agama”,”type”:”article-journal”,”volume”:”2″},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=76fa9e8c-6c98-4ff0-84b5-58c07e2c62b6″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Abdul
Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan
Agama,” <i>Jurnal Hukum dan Peradilan</i> 2, no. 2 (2013):
189.”,”plainTextFormattedCitation”:”Abdul Manan, “Penemuan
Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama,” Jurnal Hukum
dan Peradilan 2, no. 2 (2013):
189.”,”previouslyFormattedCitation”:”Abdul Manan, “Penemuan
Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama,” <i>Jurnal
Hukum dan Peradilan</i> 2, no. 2 (2013):
189.”},”properties”:{“noteIndex”:6},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama,” Jurnal Hukum dan Peradilan 2, no. 2 (2013): 189.
[7] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Badrulzaman”,”given”:”Mariam
Darus”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2001″]]},”publisher”:”Citra
Aditya
Bakti”,”publisher-place”:”Bandung”,”title”:”Kompilasi
Hukum Perikatan: Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti 70
Tahun”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=a42b209b-6d26-47c6-8503-a1a1e43d4977″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Mariam
Darus Badrulzaman, <i>Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam Rangka
Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti 70 Tahun</i> (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001).”,”manualFormatting”:”Mariam Darus Badrulzaman,
Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti
70 Tahun (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.
101.”,”plainTextFormattedCitation”:”Mariam Darus
Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa
Purna Bakti 70 Tahun (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001).”,”previouslyFormattedCitation”:”Mariam Darus
Badrulzaman, <i>Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam Rangka Memperingati
Memasuki Masa Purna Bakti 70 Tahun</i> (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001).”},”properties”:{“noteIndex”:7},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan: Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti 70 Tahun (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 101.
[8] ADDIN CSL_CITATION
{“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Syahrani”,”given”:”Riduan”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“1992″]]},”publisher”:”Alumni”,”publisher-place”:”Bandung”,”title”:”Seluk
Beluk dan Asas-Asas Hukum
Perdata”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=25d0519d-3a64-4738-94e2-dedd81264dc7″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Riduan
Syahrani, <i>Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata</i> (Bandung:
Alumni, 1992).”,”manualFormatting”:”Riduan Syahrani, Seluk
Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung: Alumni, 1992) hlm.
264.”,”plainTextFormattedCitation”:”Riduan Syahrani, Seluk
Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung: Alumni,
1992).”,”previouslyFormattedCitation”:”Riduan Syahrani,
<i>Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata</i> (Bandung: Alumni,
1992).”},”properties”:{“noteIndex”:8},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata (Bandung: Alumni, 1992) hlm. 264.
[9] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Hiariej”,”given”:”Eddy
O.S.”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2015″]]},”publisher”:”Cahaya
Atma Pustaka”,”publisher-place”:”Yogyakarta”,”title”:”Prinsip-Prinsip
Hukum
Pidana”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=eee3fcce-d64f-429b-9079-09a449906a59″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Eddy
O.S. Hiariej, <i>Prinsip-Prinsip Hukum Pidana</i> (Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2015).”,”manualFormatting”:”Eddy O.S.
Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015),
hlm. 210.”,”plainTextFormattedCitation”:”Eddy O.S. Hiariej,
Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2015).”,”previouslyFormattedCitation”:”Eddy O.S. Hiariej,
<i>Prinsip-Prinsip Hukum Pidana</i> (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2015).”},”properties”:{“noteIndex”:9},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015), hlm. 210.
[10] ADDIN CSL_CITATION
{“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Hiariej”,”given”:”Eddy
O.S.”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2015″]]},”publisher”:”Cahaya
Atma
Pustaka”,”publisher-place”:”Yogyakarta”,”title”:”Prinsip-Prinsip
Hukum
Pidana”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=eee3fcce-d64f-429b-9079-09a449906a59″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Ibid.”,”manualFormatting”:”Ibid,
hlm. 213.”,”plainTextFormattedCitation”:”Ibid.”,”previouslyFormattedCitation”:”Ibid.”},”properties”:{“noteIndex”:10},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Ibid, hlm. 213.
[11] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Hiariej”,”given”:”Eddy
O.S.”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2015″]]},”publisher”:”Cahaya
Atma Pustaka”,”publisher-place”:”Yogyakarta”,”title”:”Prinsip-Prinsip
Hukum
Pidana”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=eee3fcce-d64f-429b-9079-09a449906a59″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Ibid.”,”manualFormatting”:”Ibid,
hlm. 217.”,”plainTextFormattedCitation”:”Ibid.”,”previouslyFormattedCitation”:”Ibid.”},”properties”:{“noteIndex”:11},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Ibid, hlm. 217.
[12] ADDIN CSL_CITATION
{“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Syahrani”,”given”:”Riduan”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“1992″]]},”publisher”:”Alumni”,”publisher-place”:”Bandung”,”title”:”Seluk
Beluk dan Asas-Asas Hukum
Perdata”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=25d0519d-3a64-4738-94e2-dedd81264dc7″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Syahrani,
<i>Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata</i>.”,”manualFormatting”:”Ibid,
hlm. 265.”,”plainTextFormattedCitation”:”Syahrani, Seluk
Beluk Dan Asas-Asas Hukum
Perdata.”,”previouslyFormattedCitation”:”Syahrani,
<i>Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata</i>.”},”properties”:{“noteIndex”:12},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Riduan Syahrani, op. cit, hlm. 265.
[13] Pemilihan Umum diatur dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 yang berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
[14] Pasal 7 UUD NRI 1945 berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
[15] Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
[16] Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 berbunyi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
[17] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Budiardjo”,”given”:”Miriam”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2008″]]},”publisher”:”Gramedia”,”publisher-place”:”Jakarta”,”title”:”Dasar-Dasar
Ilmu
Politik”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=fddb9c58-0683-412b-99eb-90078b827f59″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Miriam
Budiardjo, <i>Dasar-Dasar Ilmu Politik</i> (Jakarta: Gramedia,
2008).”,”plainTextFormattedCitation”:”Miriam Budiardjo,
Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia,
2008).”,”previouslyFormattedCitation”:”Miriam Budiardjo,
<i>Dasar-Dasar Ilmu Politik</i> (Jakarta: Gramedia,
2008).”},”properties”:{“noteIndex”:16},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 405.
[18] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Airlangga”,”given”:”Shandi
Patria”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”container-title”:”Jurnal
Cepalo”,”id”:”ITEM-1″,”issue”:”1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2019″]]},”page”:”1-10″,”title”:”Hakikat
Penguasa Dalam Negara Hukum
Demokratis”,”type”:”article-journal”,”volume”:”3″},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=1edf067f-3f2c-4592-a16a-67898a2b9267″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Shandi
Patria Airlangga, “Hakikat Penguasa Dalam Negara Hukum Demokratis,”
<i>Jurnal Cepalo</i> 3, no. 1 (2019):
1–10.”,”plainTextFormattedCitation”:”Shandi Patria
Airlangga, “Hakikat Penguasa Dalam Negara Hukum Demokratis,” Jurnal Cepalo 3,
no. 1 (2019): 1–10.”,”previouslyFormattedCitation”:”Shandi
Patria Airlangga, “Hakikat Penguasa Dalam Negara Hukum Demokratis,”
<i>Jurnal Cepalo</i> 3, no. 1 (2019):
1–10.”},”properties”:{“noteIndex”:17},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Shandi Patria Airlangga, “Hakikat Penguasa Dalam Negara Hukum Demokratis,” Jurnal Cepalo 3, no. 1 (2019): 1–10.
[19] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Mertokusumo”,”given”:”Sudikno”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””},{“dropping-particle”:””,”family”:”Pitlo”,”given”:”Adriaan”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2020″]]},”publisher”:”Citra
Aditya Bakti”,”publisher-place”:”Bandung”,”title”:”Bab-Bab
Tentang Penemuan
Hukum”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=ff3cb546-85ce-434c-a33f-3b908087208f”]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Sudikno
Mertokusumo and Adriaan Pitlo, <i>Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum</i> (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2020).”,”plainTextFormattedCitation”:”Sudikno
Mertokusumo and Adriaan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Bandung: Citra
Aditya Bakti,
2020).”},”properties”:{“noteIndex”:18},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Sudikno Mertokusumo and Adriaan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2020), hlm. 4.
[20] ADDIN CSL_CITATION
{“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Mertokusumo”,”given”:”Sudikno”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””},{“dropping-particle”:””,”family”:”Pitlo”,”given”:”Adriaan”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2020″]]},”publisher”:”Citra
Aditya
Bakti”,”publisher-place”:”Bandung”,”title”:”Bab-Bab
Tentang Penemuan
Hukum”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=ff3cb546-85ce-434c-a33f-3b908087208f”]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Ibid.”,”manualFormatting”:”Sudikno
Mertokusumo and Adriaan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2020), hlm.
11-15.”,”plainTextFormattedCitation”:”Ibid.”,”previouslyFormattedCitation”:”Sudikno
Mertokusumo and Adriaan Pitlo, <i>Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum</i> (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2020).”},”properties”:{“noteIndex”:19},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Ibid, hlm. 11-15.
[21] ADDIN CSL_CITATION {“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Mertokusumo”,”given”:”Sudikno”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””},{“dropping-particle”:””,”family”:”Pitlo”,”given”:”Adriaan”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2020″]]},”publisher”:”Citra
Aditya Bakti”,”publisher-place”:”Bandung”,”title”:”Bab-Bab
Tentang Penemuan
Hukum”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=ff3cb546-85ce-434c-a33f-3b908087208f”]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Ibid.”,”manualFormatting”:”Ibid,
hlm.
16-22.”,”plainTextFormattedCitation”:”Ibid.”,”previouslyFormattedCitation”:”Ibid.”},”properties”:{“noteIndex”:20},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Ibid, hlm. 16-22.
[22] ADDIN CSL_CITATION
{“citationItems”:[{“id”:”ITEM-1″,”itemData”:{“author”:[{“dropping-particle”:””,”family”:”Ali”,”given”:”Achmad”,”non-dropping-particle”:””,”parse-names”:false,”suffix”:””}],”id”:”ITEM-1″,”issued”:{“date-parts”:[[“2002″]]},”publisher”:”Toko
Gunung Agung”,”publisher-place”:”Jakarta”,”title”:”Menguak
Tabir Ilmu Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis)”,”type”:”book”},”uris”:[“http://www.mendeley.com/documents/?uuid=279c6776-3170-4c6d-b850-5366544d7c52″]}],”mendeley”:{“formattedCitation”:”Achmad
Ali, <i>Menguak Tabir Ilmu Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan
Sosiologis)</i> (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002).”,”manualFormatting”:”Achmad
Ali, Menguak Tabir Ilmu Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis) (Jakarta:
Toko Gunung Agung, 2002), hlm.
124.”,”plainTextFormattedCitation”:”Achmad Ali, Menguak
Tabir Ilmu Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis) (Jakarta: Toko Gunung
Agung, 2002).”,”previouslyFormattedCitation”:”Achmad Ali,
<i>Menguak Tabir Ilmu Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan
Sosiologis)</i> (Jakarta: Toko Gunung Agung,
2002).”},”properties”:{“noteIndex”:21},”schema”:”https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json”}Achmad Ali, Menguak Tabir Ilmu Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis) (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 124.