Inkonstitusionalitas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022

Inkonstitusionalitas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022

Nibraska Aslam, Adji Prabowo

Bidang Kajian FKPH

Indonesia adalah negara kesatuan yang di dalamnya terdapat pemerintahan berdaulat yang berbentuk republik. Kekuasaan pemerintah dibagi menjadi 3 bagian yang memiliki wewenangnya masing-masing, antara lain lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang yang diselenggarakan oleh presiden dan wakil presiden serta menteri sebagai pembantunya. Selanjutnya, Lembaga legislatif adalah lembaga yang bertugas membentuk undang-undang yang diselenggarakan oleh DPR, MPR, dan DPD. lalu yang terakhir, lembaga yudikatif, yaitu lembaga yang berfungsi menerapkan dan mengadili peraturan perundang-undangan dalam perselisihan atau konflik. Lembaga ini diselenggarakan oleh MA, MK, dan KY. 

Menurut Jimly Asshiddiqie, sistem pemerintahan Indonesia yang dianut pada UUD NRI 1945 setelah perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances. sistem yang memisahkan kekuasaan secara horizontal menjadi tiga bagian, namun dari masing-masing lembaga tersebut tetap saling berhubungan dan mengendalikan satu sama lain. Prinsip check and balances ditujukan agar masing-masing lembaga tidak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, khususnya pemerintah (eksekutif) dalam menjalankan fungsi pemerintahan. 

Dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, tentu dibutuhkan tindakan-tindakan tertentu agar hal tersebut dapat terwujud atau disebut tindakan pemerintah. Namun, tindakan pemerintah tersebut harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan dan berasaskan pada good governance atau Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Good governance atau AAUPB adalah dasar atau acuan bertindak bagi badan atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan wewenang. 

Asas ini sangat diperlukan dalam tindakan pemerintah karena aparatur pemerintah memiliki wewenang khusus dan istimewa serta tindakannya tersebut dimaksudkan untuk kepentingan umum dan penyelenggaraan kesejahteraan dalam fungsinya sebagai bestuurszorg. prinsip AUPB tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU No. 28 Tahun 1999 tentang Anti KKN, UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN, UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Setidaknya terdapat empat asas yang penting dan hampir selalu muncul dalam peraturan-peraturan tersebut, antara lain asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, dan asas profesionalitas. asas-asas ini melekat kepada penyelenggara fungsi pemerintahan, khususnya pejabat negara. 

Dalam pasal 122 Undang-Undang nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN disebutkan siapa saja pejabat negara itu dan salah satunya adalah menteri. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Menteri merupakan pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan yang juga memimpin kementerian. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang berkaitan dengan Menteri dalam kaitannya dengan pencalonan presiden. Pada putusan MK nomor 68/PUU-XX/2022 yang intinya menghapus atau membatalkan pasal 170  ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang berisi “Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta,Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon presiden atau calon wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Fresiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota”

Pasal tersebut dinilai menimbulkan diskriminasi, bertentangan dengan pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 yang berisi “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” lalu pasal tersebut berubah menjadi “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota, termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri, sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden.

Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa pengecualian terhadap menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengundurkan diri saat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden adalah sebuah diskriminasi dan mencederai hak konstitusional partai politik ketika mereka mencalonkan kader terbaiknya. Menurut MK, kematangan profesionalitas pejabat yang dimaksud masih dapat berguna dalam memberikan kontribusi kepada negara, sekalipun pejabat tersebut mencalonkan diri diri pada kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jadi, pengunduran diri itu tidak diperlukan dan juga merugikan pejabat tersebut. Namun, Putusan MK ini menimbulkan ketidakteraturan hukum dan menyimpangi kode etik, sehingga berpotensi tidak terjalankannya asas good governance, khususnya asas profesionalitas. 

Penjelasan asas profesionalitas dapat ditemukan pada UU Anti KKN 1999, UU Pemda 2014, UU ASN 2014, dan UU PTUN 2004 yang intinya terdapat dua unsur penting di dalamnya, yakni mengutamakan pada kompetensi dan berlandaskan pada kode etik serta ketentuan pada peraturan perundang-undangan. Asas ini merupakan hal yang penting bagi pejabat negara, dalam hal ini menteri, saat melakukan tindakan-tindakan hukum yang akan memberikan akibat hukum yang masif. Sebagai seorang pejabat negara, Menteri harus menjalankan wewenang berdasarkan pada kode etik serta juga harus memiliki sikap dan perilaku tertentu (amanah dan tidak memihak misalnya) dalam menjalankan wewenangnya. 

Mahkamah juga menganggap seseorang yang menjabat sebagai menteri memiliki kapabilitas dalam mempertahankan profesionalitas karena telah memiliki jam terbang yang tinggi sehingga bukan menjadi masalah apabila seorang Menteri dicalonkan sebagai calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal, jam terbang dan kapasitas yang mumpuni tidak mampu menjamin dalam menjaga profesionalitas dan mencegah perbuatan yang menguntungkan diri sendiri. Hal ini sudah menjadi hakikat alamiah sebagaimana menurut Plato bahwa manusia sebagai zoon politicon yang memiliki kehendak bebas untuk memenuhi kepentingannya. Maka untuk mencegah terjadinya hal tersebut kehendak bebas tersebut harus dibatasi melalui hukum.

Menurut penulis, Putusan MK nomor 68/PUU-XX/2022 ini juga keliru dalam menafsirkan istilah “diskriminasi.” Mahkamah sekiranya perlu mempertimbangkan juga konsep keadilan distributif menurut Aristoteles bahwa “memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang berbeda.” Pembedaan terhadap Menteri adalah bukan suatu pengecualian karena terdapat perbedaan antara proses mendapatkan jabatan Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagai elected officials dengan jabatan Menteri sebagai appointed officials. Jabatan Presiden hingga Wakil Walikota didapatkan dengan proses pemilihan secara langsung dimana masyarakatlah yang secara langsung sebagai manifestasi asas kedaulatan rakyat, sementara Jabatan Menteri diangkat dan dipilih secara langsung oleh Presiden untuk membantu tugas Presiden dalam rangka penyelenggaraan negara dan melayani kepentingan publik. Jadi, tidak ada diskriminasi dalam pasal tersebut karena terdapat perbedaan dari cara mendapatkan jabatan, sehingga bukan suatu masalah jika Menteri tidak dikecualikan dalam pasal tersebut.

Postingan Lain