Penerapan Konsistensi Prinsip Non-Refoulement Sebagai Solusi Negara Anggota Uni Eropa Dalam Menghadapi Krisis Pengungsi Di Jerman

Penerapan Konsistensi Prinsip Non-Refoulement Sebagai Solusi Negara Anggota Uni Eropa Dalam Menghadapi Krisis Pengungsi Di Jerman

Bima Saputra

Direktur PSDM FKPH 2022

Saat ini, dinamika yang terjadi di beberapa negara mengalami eskalasi. Dinamika ini terjadi karena adanya konflik yang melanda beberapa negara di dunia, salah satu nya yaitu invasi yang dilancarkan oleh Rusia kepada Ukraina. Konflik ini menimbulkan gejolak politik, sosial budaya, dan ekonomi secara menyeluruh bagi kedua negara serta berimbas terhadap iklim perekonomian di dunia. Invasi yang dilakukan Rusia pada Ukraina juga berdampak terhadap kehidupan penduduk Ukraina yang kemudian mengungsi ke beberapa negara tetangga untuk mencari penghidupan yang lebih layak serta tempat tinggal yang lebih aman. Berdasarkan data dari PBB, Polandia menempati posisi pertama negara penampung pengungsi Ukraina dengan jumlah mencapai 3.532.205 orang hingga Mei tahun 2022. Beberapa negara di sekitar Eropa juga menerima pengungsi Ukraina, seperti Rumania, Hungaria, dan Belarusia. Jerman juga menerima pengungsi dari Ukraina sebanyak kurang lebih 700.000 orang. Namun, dengan penerimaan pengungsi dari Ukraina ke Jerman, terdapat masalah baru yang dialami oleh Jerman

Jerman sebagai salah satu negara penerima pengungsi terbesar di sisi lain juga menerima pengungsi dari Afghanistan akibat pendudukan Taliban pada tahun 2021 atau sebelum menerima gelombang pengungsi dari Ukraina. Dengan adanya kedatangan pengungsi Ukraina, maka beban Jerman untuk mengurus para pengungsi semakin besar sehingga Jerman melakukan penggusuran pengungsi Afghanistan untuk memprioritaskan pengungsi Ukraina. Banyak pengungsi Afghanistan merasa perlakuan Jerman tidak adil karena lebih “mempersilahkan” pengungsi Ukraina dan menerapkan standar ganda terhadap datangnya pengungsi. Pada dasarnya, Jerman telah menerapkan kebijakan Open Door Policy terhadap pengungsi yang mana Jerman memiliki keterbukaan yang tinggi terhadap para pengungsi di seluruh dunia. Kebijakan ini merupakan adopsi dari suatu prinsip yang dinamakan prinsip non-refoulement yaitu prinsip tentang larangan suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi atau pencari suaka ke suatu wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi yang membahayakan hidupnya karena alasan-alasan yang berhubungan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau keyakinan politiknya. Prinsip non-refoulement telah menjadi jus cogens atau kebiasaan bagi negara-negara di seluruh dunia, sehingga negara yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 ini wajib menerapkan prinsip ini sebagai landasan utama penerimaan pegungsi dalam paradigma hukum internasional. 

Berdasarkan ketentuan lain dalam Konvensi Pengungsi 1951, Jerman kurang mengintegrasikan prinsip non-refoulement dalam Pasal 33 dengan Pasal 3 Konvensi Pengungsi 1951 yang berbunyi “Negara-negara Pihak akan menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi ini pada para pengungsi tanpa diskriminasi mengenai ras, agama atau negara asal”. Jerman dalam pengintegrasian kententuan konvensi tersebut dinilai kurang baik karena pengungsi Afghanistan tidak diakomodir kepentingannya dengan maksimal dan adil daripada yang dilakukan Jerman kepada pengungsi Ukraina. Hal tersebut masih menunjukkan adanya tindak diskriminasi terhadap pengungsi Afghanistan. Kapasitas yang berlebih mengenai pengungsi di Jerman dapat diselesaikan dengan cara tidak melakukan diskriminasi kepada pengungsi di luar negara Eropa karena hal ini bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Selain itu, Jerman secara proaktif dapat mendorong Uni Eropa untuk melakukan kebijakan pemerataan kuota pengungsi bagi negara anggota Uni Eropa sehingga pengungsi tidak hanya terkonsentrasi di beberapa negara saja seperti Jerman. Pemberian sanksi dapat diterapkan oleh UNHCR selaku Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi dan Uni Eropa bagi negara-negara yang menolak kedatangan pengungsi yang harapannya memunculkan suatu ruang perlindungan bagi pengungsi secara inklusif dan berkeadilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bakkara, S.T. (2018). Pengaruh Kebijakan “Open Door Policy” Angela Merkel Terhadap Perlindungan Pengungsi Suriah Di Negara Uni Eropa. E-Journal Universitas Atma Jaya, 1-13

Riyanto, S. (2010). Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(3), 434-449.

Tempo. (27 April 2022). Demi Pengungsi Ukraina, Jerman Gusur Pengungsi Afghanistan. Retrieved June 22, 2022. https://dunia.tempo.co/read/1586402/demi-pengungsi-ukraina-jerman-gusur-pengungsi-afghanistan.

Postingan Lain