Oleh: Ahmad Rayhan Thoha Ridlo
Tindak pidana pencucian uang[1]adalah salah satu tindak pidana yang sering ditemukan di Indonesia. Tindak pidana ini merupakan suatu tindak pidana yang menganut asas kriminalitas ganda (double criminality), sehingga memiliki suatu keterkaitan dengan tindak pidana lain. TPPU hadir bersamaan dengan tindak pidana lain, sehingga dapat dikatakan bahwa TPPU merupakan suatu tindak pidana yang timbul akibat adanya tindak pidana asal. TPPU sebagaimana termuat dalam pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki banyak kategori dan tindakan, pencucian uang bisa berupa tindakan mentransfer, menghibahkan, membayarkan, menitipkan, membawa ke luar negeri dan segala bentuk penggunaan uang hasil tindak pidana, untuk menyamarkan ataupun menghilangkan jejak finansial seorang pelaku tindak pidana yang telah diperoleh agar terhindar dari ketentuan pidana.[2]
Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena menyebabkan banyak sekali kerugian dalam berbagai aspek kehidupan bagi keutuhan bangsa dan negara,sehingga dalam penangannya pun harus dilakukan dengan serius. Dalam penanganan TPPU digunakan metode pembuktian terbalik (reversal of burden proof), salah satu bentuk metode penyelesaian perkara pidana yang ada di Indonesia. Metode ini pada dasarnya merupakan lawan dari pembuktian proof beyond reasonable doubt atas kesalahan seorang tersangka yang didasarkan asas presumption of innocence, sehingga metode ini secara tidak langsung menyalahi asas praduga tak bersalah.
Metode pembuktian terbalik adalah suatu bentuk pembuktian pidana seseorang yang berbeda dengan pembuktian pada umumnya. Dalam metode ini seseorang akan dianggap bersalah jika tidak bisa membuktikan bahwa ia benar, sehingga dalam TPPU seorang tersangka pencucian uang harus mampu membuktikan bahwa harta kekayaan yang ia gunakan merupakan suatu harta yang bersih dan tidak berasal dari suatu tindak pidana. Apabila tersangka tersebut mampu membuktikan, maka ia akan dibebaskan dari tuntutan pencucian uang. Sebaliknya, apabila tersangka tersebut tidak mampu membuktikan kebenaran uang yang ia peroleh maka secara otomatis tersangka tersebut akan tetap dianggap bersalah.
Konsep reversal of burden proof tentunya memiliki konsekuensi yang cukup vital. Apabila tersangka mampu membuktikan bahwa harta kekayaan yang ia pakai berasal dari sumber yang legal, maka harta kekayaannya akan dikembalikan kepada pihak yang bersangkutan dan pemerintah tidak memiliki hak untuk merampasnya. Sebaliknya, jika tersangka gagal membuktikan kebenaran asal harta kekayaannya maka harta kekayaan yang ia miliki otomatis akan dirampas oleh pihak yang bersangkutan.[3]
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil suatu rumusan masalah: pertama,bagaimanakah konsep reversal of burden proof sebagai metode penyelesaian tindak pidana pencucian uang? Kedua: bagaiamana kekaburan hukum dalam UU No 8 Tahun 2010 mengenai konsep dan prosedural metode reversal of burden proof?
Konsep Reversal of Burden Proof Sebagai Metode Penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang
Metode pembuktian terbalik (reversal of burden proof) merupakan salah satu metode penyelesaian TPPU yang digunakan dalam praktik hukum pidana di Indonesia. Secara umum metode pembuktian terbalik diterapkan dalam dua perbuatan pidana yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Berdasarkan pasal 77 UU No 8 tahun 2010 dinyatakan bahwa untuk memudahkan dalam proses persidangan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, tetapi ketentuan tersebut bukan berarti melimpahkan semua pembuktian kepada terdakwa, jaksa penuntut umum juga diberikan kewajiban untuk membuktikan unsur kesalahan terdakwa, sehingga secara normatif metode pembuktian terbalik yang digunakan dalam TPPU adalah pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.
Metode pembuktian terbalik terbatas dan berimbang dipilih oleh Indonesia sebagai solusi penyelesaian TPPU bertujuan untuk meminimalisir pelanggaran hak kepada terdakwa kasus pencucian uang. Dalam konsep pembuktian terbalik absolut tentunya banyak hak dari terdakwa yang dilanggar, metode ini secara eksplisit merubah konsep dasar dari hukum pidana di Indonesia, selain itu juga melanggar ketentuan HAM baik itu yang terdapat dalam UU No 39 Tahun 1999 maupun berbagai konferensi internasional HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun, jika dianalisis lebih dalam baik itu pembuktian terbalik terbatas maupun absolut sama-sama menyalahi konsep dasar dari sistem hukum pidana di Indonesia. Metode ini pada dasarnya bertentangan dengan asas-asas pembuktian yang tercantum dalam KUHAP, diantaranya adalah pada pasal 66, pasal 183, dan pasal 189 Ayat (4) KUHAP.
- Pasal 66 KUHAP: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.”
- Pasal 183 KUHAP: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya.”
- Pasal 189 ayat (4) KUHAP: “Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
Berdasarkan beberapa pasal tersebut menunjukan bahwa dalam sistem acara pidana di Indonesia beban pembuktian pada dasarnya adalah tugas dari jaksa penuntut umum, sedangkan terdakwa tidak diberikan suatu beban pembuktian. Selain itu dalam KUHAP sendiri senantiasa menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)[4]. Dengan adanya konsep pembuktian terbalik tentunya menggeser konsep praduga tak bersalah (presumption of innocence) menjadi praduga bersalah (presumption of guilt). Terdakwa akan selalu dianggap bersalah, ia akan dianggap tak bersalah apabila mampu membuktikan kebenaran yang ia miliki.[5]
Namun, sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya bahwa TPPU merupakan salah satu extraordinary crime sehingga dalam penanganannya pun harus dengan cara yang cepat, tepat, dan efektif. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep reversal of burden proof sangat efektif dalam menangani kasus pencucian uang. Selain itu metode ini tidak serta merta melimpahkan keseluruhan pembuktian kepada terdakwa, pembuktian yang dibuktikan hanya terbatas pada harta kekayaan yang diduga sebagai hasil dari suatu tindak pidana, sehingga dalam hal ini masih melibatkan jaksa penuntut umum dalam proses pembuktian. Metode pembuktian terbalik (reversal of burden proof) tidak bisa sepenuhnya dianggap menyalahi ketentuan pidana. Dalam asas hukum umum dikenal asas yang berbunyi Lex specialis derogat Legi Generali yaitu suatu peraturan perundang undangan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang umum, dalam hal ini UU No 8 tahun 2010 sebagai suatu tata peraturan yang khusus mampu mengenyampingkan ketentuan dalam KUHAP sebagai tata peraturan yang umum.[6]
Kekaburan Hukum dalam UU No 8 Tahun 2010 Mengenai Konsep dan Prosedural Metode Reversal of Burden Proof
Terdapat permasalahan dalam UU No 8 tahun 2010 tepatnya pada pasal 77, 78, dan pasal 79 ayat (4), dijelaskan bahwa metode pembuktian terbalik dapat digunakan dalam penanganan kasus TPPU, tetapi dalam beberapa pasal tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit dan jelas mengenai mekanisme dan penerapan dalam praktik di peradilan. Hal tersebut tentunya menjadi suatu permasalahan yang cukup fatal dan menyebabkan suatu kekaburan hukum.[7] Cakupan dan batasan penerapan dari metode reversal of burden proof menjadi tidak jelas. Dalam praktik yang diterapkan dijelaskan bahwa metode pembuktian terbalik yang digunakan adalah metode pembuktian terbatas dan berimbang, sehingga tidak secara keseluruhan pembuktian dilimpahkan kepada terdakwa, tetapi hanya terbatas pada pembuktian harta yang diduga berasal dari tindak pidana, ketentuan tersebut seharusnya tercantum dengan jelas dalam UU No 8 tahun 2010, baik itu secara normatif maupun secara prosedural.
Kepastian hukum dalam TPPU sudah menjadi suatu keharusan, metode pembuktian terbalik yang digunakan seharusnya tidak hanya dijelaskan secara umum, tetapi secara konseptual dan prosedural juga harus tercantum dengan jelas dalam UU No 8 tahun 2010. Dengan adanya hal tersebut sudah semestinya pemerintah merevisi UU No 8 tahun 2010 dengan menambah pasal mengenai konsep dan prosedur mengenai metode pembuktian terbalik (reversal of burden proof) agar tercapai suatu kepastian hukum.
Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena menyebabkan banyak sekali kerugian dalam berbagai aspek kehidupan bagi keutuhan bangsa dan Negara, sehingga dalam penanganannya pun harus dengan cara yang cepat, tepat, dan efektif. Metode pembuktian terbalik (reversal of burden proof) terbukti efektif dalam penanganan TPPU meskipun secara normatif konsep reversal of burden proof banyak menyalahi ketentuan pidana di Indonesia. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi suatu penghalang dari penerapan konsep reversal of burden proof karena mengingat TPPU yang sudah digolongkan sebagai suatu kejahatan luar biasa.
Namun, legalitas dari konsep reversal of burden proof masih dapat dikatakan belum maksimal, hal tersebut dikarenakan dalam UU No 8 tahun 2010 konsep reversal of burden proof hanya dijelaskan secara umum tanpa menjelaskan konsep dan prosedural mengenai peneran metode ini dalam acara pidana. Sehingga perlu adanya suatu revisi mengenai penerapan acara dalam praktik peradilan agar tidak menyebabkan kekaburan hukum.
Pemerintah seharusnya mampu memberikan dasar legalitas yang kuat mengenai metode pembuktian terbalik (reversal of burden proof). Dalam UU No 8 tahun 2010 metode ini hanya dijelaskan secara umum tanpa menjelaskan konsep dan prosedural dalam praktik peradilan, sehingga pemerintah perlu merevisi UU No 8 tahun 2010 dengan mencantumkan prosedur mengenai metode pembuktian terbalik (reversal of burden proof) agar tidak terdapat suatu kekaburan hukum.
Daftar Pustaka
Buku
Amrullah, M. A. (2020). Tindak pidana pencucian uang dalam perspektif kejahatan terorganisasi: pencegahan dan pemberantasannya. Indonesia: Kencana.
Sugianto. (2018). Hukum Acara Pidana dalam Praktek Peradilan di Indonesia. Sleman:Deepublish.
Jurnal
Lumenta, L. A. (2020). Pelaksanaan Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang. Jurnal Hukum Adigama, 3(1), 1316-1339.
Lasmadi, S., & Sudarti, E. (2021). Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang. REFLEKSI HUKUM Jurnal Ilmu Hukum, 5(2), 199-2018.
Jade, A. P., Fajrin, Y. A., Putri, D. N., & Nugraha, A. S. D. (2020). The Reverse Burden of Proof in Indonesia’s Money Laundering Crime: A Review. Lentera Hukum, 7, 355.
Lubis, F., & Hidayat, N. (2021). Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Kota Medan. Jurnal Mercatoria,
[1] Selanjutnya disingkat dengan TPPU
[2] Amrullah, M. A. (2020). Tindak pidana pencucian uang dalam perspektif kejahatan terorganisasi: pencegahan dan pemberantasannya. Indonesia: Kencana.
[3] Lumenta, L. A. Pelaksanaan Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang. Jurnal Hukum Adigama, 3(1), (2020). 1316-1339.
[4]Sugianto. Hukum Acara Pidana dalam Praktek Peradilan di Indonesia. Deepublish:Sleman. (2018). Hlm 34-36
[5] Lasmadi, S., & Sudarti, E. Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang. REFLEKSI HUKUM Jurnal Ilmu Hukum, 5(2), (2021). 199-2018.
[6] Jade, A. P., Fajrin, Y. A., Putri, D. N., & Nugraha, A. S. D. The Reverse Burden of Proof in Indonesia’s Money Laundering Crime: A Review. Lentera Hukum, . (2020). 7, 355
[7] Lubis, F., & Hidayat, NPenerapan Pembuktian Terbalik dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Kota Medan. Jurnal Mercatoria, 14(2), . (2021). 88-93.