Payung Hukum Perlindungan Data Pribadi Bagi Anak Di Bawah Umur Dalam Penggunaan Jasa Telekomunikasi Di Era COVID-19

Dina Noviana Sari

Dengan berkembangnya teknologi informasi, manusia semakin membutuhkan banyak hal dalam hidup, terbukti dengan semakin populernya telepon genggam dan telepon pintar lainnya oleh masyarakat. Teknologi membuat segalanya lebih efisien. Apalagi di era Covid-19, penggunaan jasa telekomunikasi dikonsumsi oleh hampir semua orang di dunia karena hal tersebut merupakan kebutuhan hidup yang berdampingan dengan kebutuhan utama. Era Covid-19 telah menjadi hambatan bagi anak-anak yang belajar secara daring atau dalam jaringan. Adanya pembelajaran daring  membawa anak-anak lebih lekat dan bercengkrama dengan teknologi digital terutama penggunaan jasa telekomunikasi yang dijadikan sebagai salah satu sarana belajar mereka. Namun, anak di bawah umur tanpa sadar terperangkap dalam dunia maya yang berbahaya. Karena tidak semua anak di bawah umur yang paham dengan dunia digital.

[1] Anak-anak dalam artikel ini juga dibatasi untuk anak di bawah umur yaitu berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah. [2] Beberapa anak di bawah umur yang sudah maupun yang belum mampu menganalisis pemanfaatan jasa telekomunikasi yang bisa memberikan dampak positif bagi dirinya. Tak bisa disangkal bahwa dunia digital menjadi pedang bermata dua yang mempunyai sisi positif dan negatif. Banyaknya pelanggaran data pribadi menjadi salah satu hal yang berpotensi ngatif yang terjadi tak terkecuali data pribadi anak-anak di bawah umur.

Masalah privasi belum banyak diteliti di Indonesia karena kurangnya kesadaran masyarakat akan masalah perlindungan data diri baik dari kalangan akademisi maupun instansi pemerintah. Mengingat banyaknya jumlah anak, penting untuk mempelajari masalah privasi ini. Siapa pun yang membutuhkan kontak dengan Dunia Virtual selama pandemi Covid-19. Layanan komunikasi dan media sosial merupakan hal penting dari kehidupan kita sehari-hari. Karena anak-anak perlu menggunakan layanan komunikasi untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan, seperti pembelajaran jarak jauh di era pandemi saat ini. Media sosial diperlukan untuk kebutuhan hiburan ketika berada di rumah untuk melihat kehidupan luar  melalui banyak aplikasi media sosial sehingga informasi pribadi dapat diekspos tanpa sepengetahuan. Oleh sebab itu, penting untuk menekankan perlindungan data pribadi dan hak privasi individu.

[3] Hak privasi ini juga dimuat dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada pasal 12 yang berbunyi “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privasy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honor and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks”. Pernyataan tersebut juga dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi isu yang krusial bagi kepastian perlindungan privasi dan data pribadi masyarakat Indonesia. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, terdapat dua jenis yaitu  yang bersifat umum dan khusus. Ini berarti bahwa pemilik data pribadi wajib menjaga kerahasiaan serta menggunakannya sesuai kebutuhan mereka. Salah satu jenis data pribadi yang mungkin tidak diketahui oleh anak-anak yang dilindungi yaitu jenis data khusus yang terdiri dari data anak maupun data yang bersifat umum seperti nama anak.  

Menkominfo mengatakan, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (selanjutnya disebut UU PDP) memuat beberapa poin penting mengenai kewenangan hak dan kewajiban data. Dengan cara ini, jika terjadi penyalahgunaan atau penggunaan data pribadi secara sewenang-wenang, berbagai penipuan dapat dideteksi dan dengan mudah dikenakan sanksi. RUU Perlindungan Data Pribadi mengatur mengenai jenis dari data pribadi itu sendiri hingga peran pemerintah dan ketentuan pidana yang mengikatnya. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi mengatur jenis-jenis data pribadi itu sendiri karena peran pemerintah dan ketentuan hukum pidana yang mengikatnya. Perlindungan masyarakat dalam menghadapi permasalahan seperti ini sebagaimana dalam konstitusi kita pada pasal 28 G ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sudah selayaknya menjadi tugas dari negara. Dimana dalam pasal tersebut membahas mengenai hak perlindungan dari berbagai ancaman dan merupakan sebuah hak asasi. Hal yang sama juga terdapat pada Pasal 28 H ayat (4) yang menyatakan bahwa pentingnya hak pribadi yang tidak boleh diganggu oleh siapapun.

Pemerintah juga dalam hal ini dibantu oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) berupaya memenuhi amanah dari konstitusi maka ditetapkan 1 Desember 2016 untuk pemberlakuan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik (selanjutnya disebut dengan Permen PDP). Alasan penerapan peraturan pemerintah adalah pentingnya melindungi privasi dari penyalahgunaan data pribadi. Privasi sebagaimana digunakan dalam pernyataan ini adalah hak pemilik data pribadi untuk mengizinkan pengguna lain mengakses data pribadinya. Karena jika data tersebut dipublikasikan, apa pun yang dipublikasikan dapat membahayakan keamanan dan kepercayaan pemilik data pribadi tersebut.

[4]Perlindungan data pribadi telah lama diakui sebagai landasan untuk melindungi hak privasi individu. Perlindungan hak atas privasi tertuang dalam pasal 28G(1) UUD 1945. Singkatnya, privasi adalah hak asasi setiap orang dan harus dilindungi. Pernyataan Pasal 28G(1) UUD 1945 sebenarnya merupakan dasar dari Pasal 26 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Secara hukum, persetujuan dari pemilik data diperlukan untuk setiap penggunaan data pribadi di media elektronik. Sehingga dalam hal ini, operator sistem elektronik yang menggunakan atau menggunakan data pribadi individu harus mematuhi persetujuan pemilik data.

UU PDP dinilai sangat fundamental untuk melindungi hak-hak warga negara, oleh karena itu UU PDP diajukan sejak tahun 2014. [5]Perlindungan data pribadi itu sendiri merupakan pernyataan perlindungan privasi, hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28G UUD 1945, dan seluruh masyarakat telah menyatakan dukungan dan menyerukan agar UU PDP segera disahkan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa UU PDP dimasukkan ke dalam Undang-Undang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan kerangka hukum yang jelas untuk sengketa terkait data pribadi.

Namun, Konstitusi dan ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengakui jika ruang lingkup data pribadi yang akan dilindungi pada praktiknya harus mencakup dan menguraikan semua yang diatur sehubungan dengan data pribadi anak harus dijamin. Yang terpenting adalah proses pembuktian tuntutan hukum atas pencurian identitas atau pengungkapan informasi pribadi seseorang, khususnya anak. Selain itu peran orang tua dalam hal ini sangat diperlukan. Terlebih jika sang anak masih kurang memahami tentang bahaya dunia digital.

DAFTAR REFERENSI

Bondan Seno Aji, Made Warka, and Evi Kongres, ‘Credit Dispute Resolution through Banking
Mediation during Covid-19 Pandemic Situation’, Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences, 4.2 (2021) <https://doi.org/10.33258/birci.v4i2.1823>.

Halimawan, A., Hardenta, A. D., Hayati, A. N., Indradi, A. H., Arsyah, A. M., Mulyani, C. K., … & Incusy, T. R. (2020). Kajian Mencari Solusi Permasalahan Instrumen Hukum Perlindungan Data Pribadi Di Indonesia. Yogyakarta: Dewan Mahasiswa Justisia.

Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330, undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan The Convention on Rights of Child 1989.

Rancangan Undang-Undang Prlindungan Data Pribadi

Sahetapy, W. L. (2021). Perlindungan Data Pribadi Anak Dalam E-commerce di Masa Pandemi Covid 19 (Doctoral dissertation, Petra Christian University).

Sara De Vido, ‘Virtual Currencies: New Challenges to the Right to Privacy? An Assessment under the
v AML Directive and the GDPR’, Global Jurist, 20.2 (2020) <https://doi.org/10.1515/gj-2019-0045>.


[1] Bondan Seno Aji, Made Warka, and Evi Kongres, ‘Credit Dispute Resolution through Banking
Mediation during Covid-19 Pandemic Situation’, Budapest International Research and Critics Institute
(BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences, 4.2 (2021) <https://doi.org/10.33258/birci.v4i2.1823>.

[2] Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330, undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak dan The Convention on Rights of Child 1989.

[3] Sara De Vido, ‘Virtual Currencies: New Challenges to the Right to Privacy? An Assessment under the
v AML Directive and the GDPR’, Global Jurist, 20.2 (2020) <https://doi.org/10.1515/gj-2019-0045>.

[4] Sahetapy, W. L. (2021). Perlindungan Data Pribadi Anak Dalam E-commerce di Masa Pandemi Covid 19 (Doctoral dissertation, Petra Christian University).

[5] Halimawan, A., Hardenta, A. D., Hayati, A. N., Indradi, A. H., Arsyah, A. M., Mulyani, C. K., … & Incusy, T. R. (2020). Kajian Mencari Solusi Permasalahan Instrumen Hukum Perlindungan Data Pribadi Di Indonesia. Yogyakarta: Dewan Mahasiswa Justisia.

Postingan Lain